Halaman

Kamis, 16 Juni 2016

BYE BYE BABYBLUES!

Kalau saya mati, Aksa gimana?

 Pikiran tersebut sempat terlintas di benak saya beberapa waktu lalu. Berlebihan memang, tapi saya pun tak menyangka kelelahan dan perasaan terisolasi yang saya pendam ketika menjadi ibu pertama kalinya bisa berkembang menjadi Post-partum Depression.

 5 bulan lalu tepat hari ini anak saya, Aksa, lahir ke dunia. Dalam sekejap rasa sakit dan lelah pasca persalinan terkikis oleh tangis pertamanya yang pecah sejurus dokter berkata Bayinya sehat Bu, jari-jarinya lengkap sempurna. Alhamdulillah! 24 jam kemudian ratusan ucapan selamat dan doa dari kawan membanjiri sosial media, puluhan kado dari sanak saudara berjejalan di sudut-sudut kamar pernuh warna. Tapi dari semua ucapan yang ada tak ada yang mengingatkan saya bahwasanya no mommies is perfect, just relax and enjoy motherhood. Setelah kemeriahan itu berangsur-angsur pergi, segera saja hati saya dipenuhi dengan rasa cemas. Kenapa Aksa kulitnya muncul merah-merah? Apa saya salah makan? Kenapa Aksa sering bangun menangis keras? Jangan-jangan asi saya tidak cukup? Is he okay? Is it normal? Pikiran itu mulai muncul ketika aksa berumur 7 hari dan saya harus sendirian di rumah. Ya, sendiri, karena saat itu suami saya bekerja di luar kota, sedangkan walaupun sementara waktu saya tinggal dengan orang tua saya, ayah ibu saya yang masih aktif bekerja tidak dapat menemani dan membantu saya mengasuh Aksa sepanjang waktu.

Sebelumnya juga saya tidak membayangkan kalau rutinitas menjadi ibu bisa begitu melelahkan dan sekaligus monoton, meskipun sebelumnya sudah berusaha membekali diri dengan banyak membaca. Sebagai seseorang yang gemar traveling, terbiasa mengunjungi tempat baru, melakukan sesuatu yang belum pernah, suasana baru, bertemu orang baru dan harus gantung paspor saya akui gak kagok ketika hari-hari pertama Aksa lahir. Kegiatan menyusun itinerary, packing, check in dari bandara satu ke bandara lainnya tergantikan dengan kegiatan di atas taffle mengganti popok satu dengan yang lainnya membuat saya merenung Is it mom really is the loneliest number? Tanda tanya yang sempat terlintas itu saja sudah membuat saya merasa bersalah, merasa berdosa, karena seharusnya bukankah seorang ibu merasa bahagia bukannya kesepian ketika berdua bersama bayinya?

 Akhirnya setelah bertarung dengan pikiran saya sendiri saya memilih untuk diam dan menahan diri untuk tidak mengeluh. Seorang ibu tidak boleh kesepian dan jenuh! Hardik saya pada diri sendiri . Rasa ngilu bekas episiotomi, puting yang lecet ketika menyusui, badan lemas kurang tidur juga menambah emosi negatif yang menjadi-jadi, tapi kembali ego saya berteriaka mom shall not complain, bare it and it will go away. Ternyata saya salah besar, segala perasaan negatif yang saya pendam sendiri, adalah bom waktu. Saya jadi tiba-tiba sedih tanpa alasan, mudah tersinggung, marah ketika ada suara berisik tetangga yang membangunkan tidur Aksa. Saya pun jadi malas mengurus diri dan bersosialisasi, orientasi hidup seakan hanya seputar anak, tak ada aktualisasi. Puncaknya, saya sakit dan muntah-muntah ketika karena tidak dapat memejamkan mata sedikitpun selama 36 jam. Aksa pun ikut rewel dan muntah setelah disusui, bahkan menolak ASIP. Saya merasa berangsur-angsur kehilangan rasa percaya diri dan minat mengasuh anak. Untungnya saya menyadari ada yang salah dengan diri saya dan segera mencari tahu. Kenapa kelelahan saya tak berujung, kenapa saya terus-terusan dirundung ketakutan dan kesedihan. Dan demi anak saya, saya tak boleh malu meminta bantuan profesional.

Ternyata setelah konseling dengan pakar, diketahui baby blues yang saya alami telah berkembang menjadi depresi pasca persalinan. Selain dipicu perubahan hormon sebenarnya apa yang saya alami adalah normal sebagai ibu baru, tetapi karena saya mengabaikannya akhirnya gangguan itu menjadi semakin parah. Ternyata pula komunikasi dengan pasangan dan keluarga itu hal yang tak boleh diabaikan, apalagi berbagi peran pengasuhan anak. Bergaul dengan ibu baru, bersosialisasi juga tak kalah pentingnya.

Akhirnya setelah beberapa sesi konseling dan hipnoterapi saya menyadari bahwa seorang ibu walaupun tidak sempurna pastilah akan melakukan yang terbaik untuk anaknya. Karena ketidaksempurnaanya, seorang ibu akan terus belajar sepanjang hidupnya. Perlahan-lahan saya menjadi lebih santai dan enjoy dalam mengasuh Aksa. Saya dengarkan naluri sebagai ibu serta afimarsi diri bahwa tanpa beban untuk jadi ibu sempurna : anak saya akan baik-baik saja. Saya pun kemudian memutuskan ikut suami pindah. Saya menyadari pentingnya memenuhi kebutuhan jiwa saya dan Aksa atas kehadiran ayahnya lebih penting dari cost yang lebih besar yang harus kami keluarkan. Itu yang terbaik meskipun harus berjuang hanya bertiga di tanah rantau dan jauh keluarga. Lebih melelahkan memang namun entah kenapa semangat kembali muncul ketika memandangi suami dan Aksa yang sedang tidur bersama.

Sekarang, saya tidak pernah melawan ketika rasa jenuh itu datang. Saya akan berterus terang pada suami dan kemudian dia menawarkan mengasuh anak selagi saya beristirahat ataupun memanjakan diri ke salon . Untuk ibu-ibu baru ingatlah kata-kata saya a key to healthy child is a happy mother. Jadi jangan lupa diantara tugas-tugas anda sebagai ibu bahagiakan dan hargai diri anda untuk bisa membesarkan anak yang bahagia pula.. :)


Persembahan untuk ibu baru.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Mother And Baby Indonesia Tahun 2014 .

Kejutan di Krabi


“Di mana gerangankah Krabi?” Hampir semua kawan yang mengetahui rencana saya berlibur ke Krabi mengernyitkan dahi, mencoba menebak-nebak di belahan bumi bagian mana Krabi berada. Orang Indonesia lebih akrab dengan kota-kota yang sudah populer duluan seperti Bangkok, Pattaya, dan Phuket. Padahal Krabi pun tak kalah cantiknya. Tak heran jika wisatawan mancanegara menyebutnya sebagai “tourist paradise”!
Memulai Perjalanan
Setelah transit di Kuala Lumpur, saya tiba di Phuket International Airport sekitar pukul setengah delapan pagi. Saat itu bandara masih sepi, namun hampir semua mobil di car rental sudah habis tersewa. Jadi pilihan terakhir untuk ke Krabi hanyalah dengan bus atau ferry. Sebagai informasi, bulan November-Februari adalah puncak kedatangan wisatawan di Phuket. Jika Anda berencana berlibur pada peak season, lebih baik reservasi tiket pesawat, penginapan, maupun mobil jauh-jauh hari.
Saya pun bergabung dengan wisatawan lainnya di halte bus bandara (semacam DAMRI). Seorang pria mendekati kami, lalu berkata bahwa bus bandara sedang tidak beroperasi hari ini. Sambil menunjuk nomor telepon di papan jadwal kedatangan bus yang jelas-jelas tertulis “BUS SERVES EVERYDAY”, dia meyakinkan kami untuk memastikan informasi yang dia berikan dengan menghubungi nomor tersebut. Kemudian pria tersebut menawarkan untuk menggunakan jasa taksinya—tentu saja dengan harga yang fantastis. Saya dan beberapa wisatawan dari Austria yang sama-sama menunggu bus hanya tersenyum dan bergantian menjawab, ‘No, thank you’, karena kami sama-sama tahu penipuan semacam itu sudah biasa di Thailand. Para scammer ini modusnya memberi informasi yang salah kemudian menawarkan jasa transportasi yang akhirnya mengarahkan ke tempat-tempat tertentu untuk berbelanja.
Seperti yang saya duga sebelumnya, setengah jam kemudian bus bandara tiba. Biayanya hanya 90 baht—sekitar seperlima dari harga yang ditawarkan sopir taksi penipu tadi. Tujuan bus ini hanya satu, yaitu Phuket Bus Terminal dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Namun setibanya di terminal, terdapat sejumlah bus dengan tujuan ke berbagai pantai maupun provinsi lain termasuk Krabi.
Walaupun informasi mengenai perjalanan dengan bus ke Krabi ini sangat terbatas, saya memutuskan tak ada salahnya mencoba. Opsi transportasi menggunakan ferry jauh lebih mahal dan membutuhkan waktu tempuh lebih lama, karena dari terminal saya harus menggunakan bus kecil menuju dermaga terlebih dahulu dengan jadwal keberangkatan yang tidak menentu. Sedangkan menurut informasi dari beberapa penduduk setempat, dari terminal yang sama saya bisa langsung menuju Krabi dengan bus rute Phuket- Hatyai yang siap berangkat tiap jamnya.
Saya akhirnya bertolak ke Krabi dengan bus bercat oranye tersebut. Tarifnya 130 baht dengan lama perjalanan sekitar tiga jam. Di luar ekspektasi, perjalanan sejauh 185 km itu sangat nyaman. Hampir tidak ada jalanan yang rusak, cukup sepi karena jarang ada kendaraan berpapasan, bus pun tidak berhenti mendadak maupun sembarangan. Beberapa perkampungan muslim khas Thailand bagian selatan, garis pantai, dan perbukitan kapur menjadi pemandangan utama selama perjalanan.
Krabi Town
Filosofi KepitingDalam perjalanan menuju hotel, lanskap dermaga Chao Fa yang  menarik menyambut saya. Kehadiran patung kepiting raksasa dengan latar sungai Khao Kha Nap menjadi daya tarik tersendiri bagi saya yang gemar berfoto. Patung kepiting tersebut tidak kalah unik dari patung hiu di River City, Bangkok. Selain indah, pemandangan di Chao Fa juga mengungkap fakta kota Krabi. Tertulis di atas ‘prasasti’ dua dimensi berbentuk kepiting, Krabi secara fonetis diucapkan sama dengan crab (kepiting) yang cara hidupnya memiliki filosofi, mewakili masyarakat Krabi.
Kapal-kapal cantik yang merapat di dermaga Chao Fa menawarkan berbagai tujuan menarik. Dari tur singkat mengelilingi perairan bakau di antara perbukitan kapur hingga ke Pulau Phi Phi dan berbagai tempat wisata lain yang sayang untuk dilewatkan.
Nederthal
Pemandangan unik di Thanon Road pun tak kalah menariknya. Di sisi jalan tersebut terdapat sebuah obyek semacam patung primata. Namun setelah dilihat dengan lebih saksama, sosok tersebut lebih mirip manusia purba yang menjinjing lampu lalu lintas. Menurut cerita, pada tahun 1986 ditemukan artefak manusia gua di Lang Rong Cave yang kemudian dianggap sebagai nenek moyang oleh masyarakat setempat. Lang Rong Cave sendiri terletak tak jauh dari Krabi Town, hanya saja butuh persiapan fisik yang lebih untuk menuju ke sana.
Sekitar 15 menit ke utara terdapat atraksi lain yaitu Tiger Cave Temple (Wat Tham Suea). Di dalam bangunan utama Tiger Cave Temple terdengar doa dari kitab Buddha yang dipanjatkan dalam teknik meditasi yang unik yaitu Vipassana. Pantulan suara di rongga-rongga gua menambah efek sendu setiap upacara. Di dindingnya tergantung gambar potongan jasad dan organ manusia yang berfungsi untuk mengingatkan para biksu agar fokus kepada hal-hal yang bersifat spiritual, karena hakikatnya tubuh bersifat fana. Yang lebih menarik, terdapat anak tangga sebanyak 1.200 buah untuk menuju ke atas bukit setinggi 125 meter di mana bekas telapak kaki Buddha konon berada. Masuk ke Tiger Cave Temple ini tidak dipungut biaya sama sekali namun kedermawanan pengunjung diharapkan dalam membantu proses renovasi.
Hotel tempat saya menginap berada di antara food market dan Krabi walking street. Sama seperti di Phuket, paket tur menuju Phi Phi Island juga  bisa di dapatkan di hotel maupun agen tur dengan harga rata-rata 1000 baht per orang. Saya juga mendapati kenyataan bahwa ternyata gugusan kepulauan di Phi Phi termasuk dalam kekayaan hayati milik Provinsi Krabi, begitu juga dengan 53 pulau kecil di gugusan Koh Lanta.
Hampir semua fasilitas yang ada di Phuket terdapat pula di Krabi, tentu saja minus suasananya yang ramai. Di setiap sudut Anda bisa menemukan convenience store, jasa laundry murah, serta street food stall yang menjual tom yum dan banana street pancake yang lezat. Mencari makanan halal pun tidak terlalu sulit karena hampir 50% dari populasi Krabi beragama Islam.
Wisata Pantai
Jarak dari Krabi Town menuju  Ao Nang, pantai terdekat, adalah sekitar 30 menit. Tiba di Ao Nang Road pada malam hari sedikit banyak mengingatkan akan nightlife di Patong. Beragam resto lokal, resto cepat saji, jasa tukar uang, hotel, resor, maupun hostel berjajar sepanjang jalan menuju pantai. Bar dan pub dengan iringan live band  maupun musik trance tampat berderet di Ao Nang Center Point Entertainment Complex.
Di bibir pantai Ao Nang sendiri banyak dive shop yang menawarkan pengalaman underwater di Bamboo Island, Poda Island, Hong Island, dan Phi Phi Island. Pantai di Ao Nang ini mirip dengan Kata, dengan pasir putih dan garis pantai yang lurus dan memanjang. Bedanya, tidak ada barisan sunbed yang memenuhi tepi-tepinya sehingga pantai tampak luas dan lapang.
Jika Ao Nang masih dirasa terlalu ramai, terdapat Railay Beach, pantai eksklusif terpisahkan tebing tinggi yang hanya bisa ditempuh dengan long tail boat. Lokasi Railay Beach yang tersembunyi menjadi tempat sempurna bagi mereka yang mencari suasana tenang. Tebing menjulang tinggi di Railay ini menjadikan surga bagi para climber dan adrenaline junkee. Daerah Railay bagian timur populer bagi para backpaker, sementara West Railay merupakan basis dari beberapa beach resort berbintang.
Setelah seharian snorkeling, kenyang menyantap seafood murah, dan capek berjalan, pilihan bersantai pun jatuh ke tempat pijat bernama Pu Body & Scrub Massage. Waktu telah menunjukkan pukul 10 malam tapi masih banyak yang mengantri di luar. Saya mencoba Thai Massage dengan tarif 200 baht untuk 60 menit untuk menutup aktivitas.
Krabi dengan segala pesonanya membuat liburan saya lebih berwarna. Jika ingin ke pantai cantik berpasir putih namun sudah bosan berdesakan di keramaian, cobalah untuk mencari kejutan Anda sendiri di Krabi!

Tulisan ini pernah dimuat di website majalah Panorama

Sabtu, 11 Juni 2016

Field Report: 4D3N Bali + Nusa Lembongan (Day 2)

Setelah sampe di Hotel kita semua langsung tepar. Rencana buat ngeliat sunset di Sanur tinggal angan-angan soalnya kita semua bangunnya kesiangan. *nangis* Akhirnya selesai mandi, sarapan, beres-beres dan check out bertolaklah kami menuju Pantai Sanur. Bukan buat menlihat matahari kesiangan ya, telat! Tapi karena emang dermaga speedboat menuju Pulau Nusa Lembongan ada disana.

Sampai di temoat parkir mobil di Sanur berjalanlah kelurus sampai ke gerbang masuk lalu berbeloklah ke kiri. Di dekat kamar mandi umum ada papan keterangan harga tiket dari Sanur ke Nusa Lembongan maupun ke Nusa Penida. Jangan syok dulu lihat harganya, karena harga yang terpampang itu memang untuk turis mancanegara, untuk turis lokal seperti kami cukup dengan harga Rp.60.000 pulang pergi. Dalam sehari speedboat menuju Nusa Lembongan hanya beroperasi 2x jadi karena kami sudah booking hotel di Kuta maka kami langsung tolak sorenya pukul 15.00. So here we go...

Berangkat dari Sanur dengan speedboat dengan kapasitas 30 orang, rasa-rasanya justru berada di negeri orang deh. Karena penumpangnya hanya kami berempat dan kru kapal yang merupakan orang lokal, sisanya turis-turis mancanegara. Perjalanan membelah lautan dengan speed boat yang kadang membentur ombak harus dilewati dulu selama kurang lebih satu jam. Saya aja yang udah menyempatkan sarapan masih aja merasa mual, maka perjalanan ini sangat tidak disarankan untuk bumil.

Sesampainya di Jungut Batu, kapal kami merapat ke tanah baru baik di telinga maupun mata. Rupanya tak sia-sia kami pergi ke sini. Pasir putih dan refleksi langit biru di pantai yang tembus ke dasarnya menyambut kami. Setelah puas ber-narsis ria, petualangan pun kami lanjutkan dengan menyewa motor, satu-satunya pilihan transportasi disana. Jangan berharap bisa mampir ke mini market sewaktu-waktu kita lapar atau mengambil uang ketika persediaan habis ya. Datang kesini memang butuh persiapan matang dan bekal sebelum berangkat. Untungnya, kita sedia bekal makanan dan uang cash kemanapun.





Dalam perjalanan mengelilingi pulau seluas 3 hektar ini, kadang-kadang motor yang kami sewa seharga Rp. 50.000 per hari harus melewati jalan-jalan tanpa aspal. Namun semua itu terbayarkan karena hampir dimana-mana merupakan spot yang bagus untuk berfoto-foto. Tanpa disengaja, sampailah kami di Golden Reef Warung, tempat makan menghadap perairan landai di sekitar hutan bakau. Saya juga heran kenapa disebut warung, karena tempat ini terlalu cantik hampir sperti di sebuah resor! Setuju nggak?








Pemilik dari warung ajaib itu adalah Kapten Good (demikian beliau menyebut dirinya). Lelaki separuh baya asal desa setempat yang juga menggeluti usaha water activity. Beliau kemudian menawarkan kami snorkeling melewati Mangrove point dengan harga hanya Rp50.000 per orang. Setelah makan siang seafood yang lezat dan berfoto-foto di tepi warung istimewa ini kami pun setuju.

 Segera kami menuju kapal milik Kapten Good ini, dan mulailah kami melewati hutan bakau menuju lautan. Kapten Good juga sangat ramah, beliau mau saja lho kita mintain tolong fotoin, dari mulai pakai snorkel mask, sampe underwater. hehehe…Ditengah-tengah snorkeling, bahkan karena kebaikan kapten Good ini kami bisa mencoba Marine Walk saat itu juga tanpa harus reserve dengan harga 1 juta untuk 3 orang! Hihihi so lucky. Oh ya nggak lupa saya juga minta kartu namanya Capatain Good ini so buat kalian yang pengen booking bisa langsung kontak nomor dan email dibawah ini ya :0




Setelah puas main air akhirnya kami harus balik ke Pulau Bali, padahal masih banyak pantai di Nusa Lembongan yang belum kami datangi. Namun apa daya kapal menuju Sanur sudah menunggu di Jungut Batu. Akhirnya kamipun karena kecapaian tertidur dalam perjalanan kembali.

Sekitar pukul 4 Sore  kami sudah berada pusat keramaian Kuta. Hotel kedua kami adalah Pop Hotel Kuta. Walaupun hotelnya lebih baik dari yang di Denpasar (ada kolam renang)karena memang lebih tinggi ratenya Yang ternyata bukan pilihan yang bijak untuk menginap ketika kita menyewa mobil. Jalan menuju hotel sempit dan searah (Masuk ke dalam gang) Walaupun lokasi hotelnya juga luas. Mungkin penginapan disekitar situ emang ditujukan buat turis yang lebih banyak kemana-mana jalan kaki. Karena memang cukup dekat dengan pantai.

Tips: Kalau ingin menginap disini sewalah motor.


Akhirnya setelah bertahun-tahun di publish juga part 2 nya.. Semoga bisa lanjutin part 3ya :D







Jumat, 10 Juni 2016

Lactacyd Baby : Sahabat kulit sensitif anakku.



 Apa salah satu syarat penting agar bayi sehat? Cukup Tidur.


Begitulah penggalan artikel kesehatan yang saya baca. Sepertinya cukup mudah ya memastikan anak kita cukup istirahat. Namun ternyata pada prakteknya poin ini sedikit sulit saya penuhi  karena sejak kecil seringkali malam hari Aksa terbangun dan menggaruk badannya yang kemerahan. Dan ternyata menurut beberapa sumber, kurang tidur bisa mengganggu tumbuh kembang si kecil. Itulah kenapa saya concern dengan masalah kulitnya karena saya mengalami sendiri masalah kulit sensitif bayi yang tidak tertangani dengan baik.


Permasalahan kulit sensitif Aksa sudah terlihat pada tiga hari umurnya. Tiba-tiba muncul kemerahan di muka dan tidurnya pun mulai tak nyenyak. Tak tega melihatnya, suami dan saya memutuskan pada hari ke 5 usianya membawa dia ke dokter spesialis anak. Dokter berkesimpulan Aksa punya kulit sensitif dan punya bakat alergi debu. Dokter menyarankan agar kamar selalu dalam keadan sejuk dan menghindari selimut serta boneka berbulu. Saat itu dokter juga meresepkan anti-histamin, ah sedihnya, di usia yang baru bisa dihitung dengan jari  Aksa sudah harus berkenalan dengan obat-obatan.

Muka Aksa merah-merah :(

Apakah masalahnya selesai disitu?              
                                       
Ternyata mimpi buruk itu berlanjut ketika Aksa sudah mulai naik berat badannya dan liatan-lipatan di tubuhnya sering berkeringat. Padahal saat itu kami tinggal di wilayah kaki gunung Merbabu, yang notabene sangat dingin. Kulit sensitifnya juga bermasalah ketika memakai popok sekali pakai yang tak cocok. Selain ruam popok, mulai timbul bintik-bintik merah dibawah liapatan dagunya. Ketika kami berkunjung kembali ke dokter, kami disarankan mengganti sabun mandinya dan mengoleskan baby cream di bagian yang tertutup pospak. Saat itu dokter merekomendasikan untuk membeli sabun produksi Jerman yang bagi saya memang cukup menguras kantong. Tapi tetap hal itu tak bertahan lama, kulitnya semakin kering dan justru timbul biang keringat. Ibu mertua saya menyarankan memakai bedak dingin, tepung sagu, dan bahkan kayu secang untuk rendaman mandi Aksa. Yang ada Aksa justru ketakutan melihat airnya menjadi berwarna merah. 

Bekas garukan yang jadi infeksi :(

Sebagai ibu saya sungguh pernah merasa gagal. Apalagi bekas garukan sempat menjadi infeksi yang cukup meluas di sekitar ketiak yang memaksa kami harus berkunjung kembali ke dokter spesialis kulit. Karena infeksinya mulai bernanah dan demam Aksa harus minum antibiotik. Sedih sekali melihat anak yang ceria itu sering rewel karena pasti daerah lesi infeksinya perih sekali jika tergesek bajunya. :(

Belum menemukan solusi sampai Aksa semakin besar, kami ternyata harus pindah ke Jakarta karena ada mutasi di tempat kerja suami. Di sini udara semakin panas, dan biang keringat Aksa semakin menjadi. Tak hanya di dahi, di perut, tangan kakinya, di kepalanya pun muncul bisul-bisul kecil seperti jerawat. Kembali lagi kadang kami harus begadang karena tengah malam dia menangis dan mengeluh gatal sambil kami berusaha menaburkan bedak antiseptic-berharap mengurangi penderitaannya . Tapi hal itu tetap terus berulang ketika cuacanya sangat panas atau terjadi perubahan cuaca.

Ternyata Tuhan telah menyiapkan jawaban segala usaha kami dibalik kepindahan ke Jakarta. Untunglah kami bertemu dokter anak yang pro RUM (Rasional Used Medicine) yang bukannya meresepkan obat-obatan justru menyarankan kami membeli Lactacyd Baby. Awalnya saya pesimis, karena selama ini usaha kami yang sudah mengeluarkan biaya tak sedikit tak membuahkan hasil. Tapi toh nothing to lose, kami kemudian beralih ke Lactacyd Baby  untuk mandi Aksa.

Pertama kalinya memakai Lactacyd sedikit terkejut  ternyata harganya cukup terjangkau dan tersedia di apotek-apotek ternama. Konsistensi isinya yang cair, tidak kental dan tidak berbusa seperti sabun kebanyakan yang mengandung banyak detergen. Kalau masalah wangi menurut saya relatif. Kalau saya sih suka baunya alami, Lactacyd baby ini aromanya segar seperti kulit bayi, tidak terlalu tajam, yang berarti tak terlalu banyak parfum dan bahan kimia. Aksa suka sekali memakai Lactacyd ini karena rasanya moist dan lembut di kulit, selain juga saya senang karena bisa digunakan di kulit kepala seperti memakai shamphoo.

Ajaibnya, selang beberapa hari saja bintik-bintik merah itu memudar, jerawat-jerawat kecil di kepala sedikit-sedikit menghilang dan kulit kasarnya tergatikan dengan kulit lembut. Saya sempat takjub tak percaya. Akhirnya semenjak saat itu kami selalu mempercayakan perawatan kulit Aksa pada Lactacyd Baby  yang terbukti memiliki pH 3-4 yang seimbang dan cocok untuk kulit sensitif. Syukurlah setelah dua tahun berkutat dengan masalah kulitnya, ternyata selama ini solusi untuk biang keringat yang cocok untuk kulit sensitif anakku adalah Lactacyd Baby.
 
Selain menggunakan Lactacyd baby, berikut beberapa tips untuk mengatasi biang keringat pada anak yang memiliki kulit sensitif berdasarkan pengalaman saya:

  •      Sering ganti pakaian dan lap badan anak ketika dia berkeringat
  •      Mandikan dengan air dingin, kalaupun sedang sakit, mandikan dengan air yang tak terlalu panas karena bisa memperparah biang keringatnya.
  • Jika tak terpaksa hindari menggunakan minyak dan lotion pada kulitnya yang sensitif
  • Selalu jaga kukunya tetap pendek karena gatal-gatal bisa datang kapan saja sebelum kita menemukan penyebabnya.
 
Begitulah pengalaman Aksa menggunakan Lactacyd Baby, semoga bermanfaat bagi ibu-ibu lain yang mengalami permasalahan sama. Sekarang kulit Aksa kembali berseri dan bisa tidur lebih nyenyak di malam hari. Terimakasih ya Lactacyd Baby :) 
Kembali ceria