Halaman

Rabu, 03 Juli 2013

My Maternity Story : A Thousand Miles.

They say pregnancy is a priceless gift, not everybody could insist to have one.  Yet for me pregnancy is more than just a present, it’s a huge responsibility.

Kira-kira sebulan yang lalu, jam segini (ditulis jam 2 siang) saya bersama suami masih di kereta api menuju Stasiun Tawang, Semarang . Setelah perjalanan  kurang lebih 440 km dan ditempuh dalam waktu 7 jam sampailah kami di Semarang. Sekitar pukul 4 kami sudah berada di angkutan kota menuju Kaligawe untuk naik bus tujuan Salatiga, 60 km menuju kampung halaman saya. Selama beberapa hari kami juga harus menempuh 30 km setiap harinya untuk bolak-balik ke rumah mertua. 2 kali bolak-balik Solo sejauh 40 km, dan bahkan sempat melancong hingga kebun teh Kemuning di kaki Gunung Lawu bersama para sahabat saya. Bahkan setelah itu saya bersama keluarga dengan menggunakan mobil pribadi menuju Surabaya yang  260km jauhnya.

Tidak ada yang aneh dan berbeda yang saya rasakan dalam diri saya,yang pertama kali  justru Onyi panggilan sayang Leonie, sahabat saya yang memang paling suka pegang-pegang perut. Lucu katanya. Dek Anis, sahabat saya yang sudah hamil 5 bulan saat ini, sering jadi korban kegemesan Onyi. Giliran dia menyentuh perut saya yang biasanya agak empuk jadi agak kaku dan membesar dia langsung spontan bilang ‘Hamil kali kamu, Nduk!’. Sehari kemudian  adik saya yang paling besar lah yang justru menegur saya ketika kami temu kangen di Solo. “Mbak, kamu gendutan ya?” Saya yang tidak menyadari perubahan apapun lantas berkelakar “Wah emang hamil kali ya”. Memang beberapa hari di rumah nafsu makan saya jadi besar, entah karena pengaruh dinginnya udara atau karena emang kuliner Salatiga yang ngangeni, tapi saat itu saya nggak punya feeling saya hamil sama sekali dan belum berminat melakukan tes kehamilan.

Bahkan hingga saya kembali dari Surabaya ke Jakarta dengan menenteng bagasi pesawat seberat 15 kg  seorang diri namun tidak ada perasaan capek sedikitpun. Hingga tiga hari setelah itu tante mengajak pergi ke Puncak Bogor, entah kenapa saya yang biasanya nggak bisa tidur di perjalanan seharian teler di dalam mobil dan puncaknya di sebuah resort di puncak pass, rasa mual tiba-tiba muncul dan melihat makanan apapun jadi eneg. Tante yang emang ceplas-ceplos pun juga langsung mengomentari foto kami yang barusaja diambil ‘Eh kok toketmu jadi gede banget to nduk!’ yang setelah saya perhatikan saya baru sadar betapa menggelembungnya badan saya. Duh!

Sesampainya di rumah sayapun bercerita pada suami semua tanda-tanda yang saya alami, suami bilang yaudah di tes aja. Baru dua hari kemudian saya benar-benar niat melakukan tes kehamilan. Saat itu jam 3 pagi tiba-tiba saya kebelet pipis, sesuai anjuran di kotak tes kehamilan urin pertama di pagi harilah yang paling baik, sayapun tidak mau membuang kesempatan. Tapi sungguh, dari ujung jari sampai ujung rambut badan saya bergetar, takut dan deg-degan memegang alat berukuran 10x 0,5 cm itu. Dan,  muncul 2 garis secara jelas, tangis sayapun pecah di dalam kamar mandi. Perasaan bahagia, takut, sedih bercampur jadi satu. Bahagia karena Allah mengabulkan do’a kami  sejak awal berjanji dalam ikrar pernikahan : tidak ingin menunda keturunan tapi juga ingin punya kesempatan menikmati saat-saat berdua dulu. Pasrah pada pemberi hidup, yang paling tahu mana yang terbaik bagi kami. Dan setelah 6 bulan kami menjalani rumah tangga kami akhirnya Allah Yang Maha Pemurah memberi calon anggota baru keluarga kami, setelah kami puas berpetualang berdua. Tapi sayapun juga tak luput dari perasaan cemas dan takut, seperti manusia biasa lainya. Apakah bayinya sehat, apa saya bisa membesarkannya dengan baik? Apalagi saat itu sebenarnya saya sudah sangat dekat dengan impian saya untuk bergabung dengan salah satu book publisher besar di Indonesia. Tapi Allah berkehendak lain. Air mata dan segala rasapun tumpah di pelukan suami. Saya bangunkan dia dari tidurnya, karena dialah yang berhak tahu pertama kali, ayah dari janin yang aku kandung. Diapun yang selalu bilang “La Tahzan, Jangan bersedih, pasti kesempatan itu datang lagi, karena anak akan membawa rejekinya sendiri. Kantukpun tetiba sirna, digantikan rasa syukur dan senyum bahagia yang memenuhi kamar mungil kami saat itu, hingga adzan subuh menggema. 

Seusai menunaikan shalat subuh berjama’ah bersama suami, saya minta ijin untuk memberi kabar pada ibunda saya, suami mengiyakan. Seperti biasa, ibu yang bijak dan bersahaja, dengan nada yang menenangkan mengucap syukur dan mendo’akan. Saya masih nggak menyangka setelah seribu kilometer lebih jauhnya saya baru sadar selama ini ada makhluk yang sedang tumbuh di dalam rahim saya :’)

We I want Alex Karev!

Atas saran beberapa teman, sebaiknya saya langsung memeriksakan ke dokter spesialis kandungan agar vitamin janin juga tercukupi sejak awal pembentukannya. Akhirnya setelah beberapa saat mencari informasi kamipun menjatuhkan pilihan untuk konsultasi dan nantinya bersalin di Rumah Sakit Ibu Anak Buah Hati. Selain karena sangat dekat dari tempat tinggal yang sekarang (kira-kira 10 menit perjalanan dengan kendaraan) , banyak yang menulis di forum dan blog, mereka puas dengan pelayanannya yang ramah dan juga terjangkau harganya. Namun sayang dokter yang banyak direkomendasikan saat itu sedang cuti, akhirnya kami pasrah dengan dokter yang ada saat itu. Suami sebenarnya agak keberatan karena dokternya cowok, karena dia ingin dokter perempuan aja kalo bisa yang sehebat dan secantik dr. Adison Montgomery di serial Private Practice. Yeeee! Cowok kalo seganteng obgyn Alex Karev saya  juga mau tauk! 

Haha tapi ternyata harapan luput semua, dokternya nggak ganteng dan kurang begitu ramah, ketika saya di USG, dokter Cuma bilang ‘Tuh kantong bayinya udah kelihatan, 6 minggu ini”

 Sayapun Cuma bengong belum bisa menangkap maksud dokter itu.

‘Jadi saya hamil dok?’ Kataku memastikan, “Ya hamil’ Kata dokternya antiklimaks.  Ini semua tidak seperti bayangan saya bak di sinetron dan film, dokternya akan sama excitednya dengan orang tuanya ketika mengetahui benar-benar hamil. Haha. ‘Wah selamat bapak, anda akan segera jadi ayah’ sambil senyum tiga jari sambil menjabat tangan suami saya, hanya jadi imajinasi di kepala saya. Malah justru suami kena tegur perawat karena nggak boleh ikut ke ruangan USG, cukup lihat di monitor aja, katanya. Bukan kaya di film kok yang suami boleh menemani dan menggengam tangan istinya.

But well, there is always first in everything right? Trial and Error. Begitulah pertama kalinya saya dan suami masuk ruangan dokter kandungan, jauh dari ekspektasi dan tegang, hingga pertanyaan yang sudah disiapkan dari rumah hilang seketika. Jadi saran : take note of the question you’re gonna ask.Tapi semua itu sama sekali nggak  mengurangi kebahagiaan kami berdua sebagai calon orang tua.

Pregnancy bring the best out of us.

Bukan mitos kok kalau ada kalimat ‘ Setiap orang tua akan berusaha memberi yang terbaik untuk anaknya’ – dan bahkan anak yang belum dilahirkan. Suami jadi lebih bawel emang, biar saya minum susu dan vitamin, ngemil yang banyak. Tapi saya salut juga dia mau sendirian cari prenagen, buah, kue, dan jadi manajain saya banget. Nggak lupa beliin buku-buku kehamilan dan kumpulan do’a. Sayapun juga jadi benci MSG, dan goreng-gorengan,dan doyan buah sayur kebalikan dari sebelum hamil anehnya. Untungnya juga sebelum menikah saya sudah rutin berlatih yoga. Makanya saya nggak mengalami mual muntah parah seperti bumil biasaya di trimester pertama. 

Seiring dengan banyaknya orang yang tahu mengenai kehamilan  kita bakal banyak juga ang memberi  nasehat beserta supersition yang kita dengar. Tapi harus pinter-pinter kita menyeleksi yang sesuai dengan diri kita dan tetap berfikiran positif. Because every pregnancy is unique, seperti  garis ibu jari manusia yang nggak ada yang sama, begitu juga kehamilan. Bagus untuk yang lain belum tentu bagus untuk kita, and we are the one who know our body at best, right? Yang pasti kami berdua, dan siapapun calon orang tua di luar ssana pasti berniat mengisi hari-hari sampai kelahiran dengan sukacita dan kebahagiaan.


3:38


 At that, Zechariah called upon his Lord, saying, "My Lord, grant me from Yourself a good offspring. Indeed, You are the Hearer of supplication." [3:38]

Dedicated for a being inside my uterus who is struggling to grow to live, I hope someday when  you read it you’ll know how much we love you. :*