Halaman

Rabu, 18 Februari 2015

Di Tepi Thames

"You're accepted in Chevenning Scholarship for Post-Graduate Degree"

Begitulah bunyi surat yang diberikannya padaku, entah aku harus bahagia atau sedih. Kemudian momen-momen berikutnya begitu cepat, aku melihatnya pergi dari kaca luar bandara. Kami berpisah tanpa kata, tanpa janji, tapi hati kami telah sama-sama berikrar, untuk masing-masing..

****

4 Tahun berlalu,

Aku kembali di bandara itu. Sendiri. Tak ada yang berubah dari penampilanku. Sama ketika aku mengantarkannya pergi hanya berbalut kaos, jeans, dan sepatu keds.

Aku menatap  LCD jadwal penerbangan , LHR (London Heathrow)-CGK (Jakarta) LANDED 14.35. Sudah sejam lalu! Gawat aku terlambat.Dalam kebingungan mencari informasi tiba-tiba seseorang menepuk dari belakang. Aku berbalik dah menunduk"

"Hey" Sapanya dengan senyum yang masih sama. Gadis itu masih sama, mungil. 48 purnama tinggal di luar negeri tak membuatnya bertambah tinggi ternyata. Aku mengusap rambutnya.

"Thanks for coming, we'll meet again okay, they're outside" Katanya sambil menggengam tanganku/ Aku tersenyum sambil mengangguk.

Dia berbalik menuju pintu keluar, aku mengikutinya pelan dan terhenti di pintu kaca. Aku biarkan dia pergi menghampiri kerumunan orang yang kemudian memeluknya bergantian. Keluarganya.

10 Tahun, kami bercinta dalam diam, 4 tahun terpisah, dan aku akan terus menjadi pria dibalik kaca hingga saatnya kelak kami mendapat restu.Aku percaya, aku akan kembali ke London bersamanya, berdua menikmati Oxford street, bersama duduk di tepi Sungai Thames.



Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.

Simphony of Love

“Jadi kamu tinggalin begitu saja si boss lembur sendiri di kantor, pura-pura beli makan terus nggak balik? gila kamu! Tunggu dapet SP di atas meja besok”

Mataku terbelalak mendengar ceritanya, tapi kemudian kami tertawa bersama.

“Ya kalo dipecat, tinggal apply di kantor lo, kan enak, tiap hari ketemu bidadari paling kece se-Mongkok”
Katanya menggoda, entah cahaya yang menari di  antara gedung di Tsim Sa Tsui yang membuat dadaku bergetar, ataukah senyumnya. Buru-buru kualihkan wajahku ke sudut lain Cofee Shoop di tepi Avenue of The Star ini. Tapi dia sepertinya terlanjur memergoki rona merahnya.

“Tasya, kamu belum jawab pertanyaanku kemarin. Yes or No. You know it’s not easy to live alone, here, di negeri orang,  I really need you”
Need? Senyumku menghilang. Aku berharap kata LOVE yang keluar dari mulutnya, tapi akupun tak bisa menyangal bahwa sejatinya aku membutuhkan dia, saling mengisi kehidupan hambar yang 3 tahun kujalani di Hong Kong, sendirian .

Aku diam. Dia menghela nafas panjang, tubuh didorong menjauh ke belakang.
“I dont know..”
Suaraku sedikit bergetar, dia meraih tanganku.
“Trust me, we’ll hurt nobody, it’s just me and you, HERE”

Ada kesungguhan di matanya, ada kegetiran, ataukah matanya hanyalah refleksi keinginanku, untuk bersamanya, Arkan Dewantara, old crush masa SMP. Ketika aku masih gadis cupu berkacamata, dan dia, ahh pujaan segala wanita. Sekarang disini, di city of blinding lights, ada kesempatan untuk menikmati dunia  berdua.

“I;m not.... “ aku ragu “We could try..?” Seketika dia memelukku.
“It’s getting cold in here. Let’s find someplace proper, makan malam yuk, aku bayar bill dulu ya” katanya mengelus bahuku, kemudian dia memunggungiku menuju kasir.

Aku meraih smartphoneku. Memasukkan “Dinda Arsya” ke kolom friend search” Kulihat profilnya sekali lagi . status terakhirnya “ kangen suamiku, semoga lancar kerjanyaa”.  
*scroll*
“ MARRIED TO ARKAN DEWANTARA”  
*BLOCK THIS PROFILE* *YES*


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program#FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.