Halaman

Minggu, 31 Juli 2022

Liam Gallagher Live in Perth





 *C’MON YOU KNOW*
sudah lebih dari tiga tahun sejak saya menonton pertunjukan musik yang layak. konser kemarin malam memberikan kesan yang berbeda dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. berikut adalah beberapa di antaranya:






*acara orang tua*


ketika masuk arena hal yang langsung saya sadari secara instan adalah bahwa ini merupakan event musik pertama yang saya datangi dengan pengunjung yang didominasi pria dan wanita paruh baya. tidak terhitung banyaknya ibu-ibu di setiap penjuru yang dipanggul pasangannya dan bernyanyi sepanjang malam. apalagi jumlah bapak bapak yang datang khusus mengenakan parka untuk kemudian meletakkan kedua tangannya pada posisi istirahat di belakang badan membayangkan dirinya menjadi bintang rock meski hanya sekejap. hanya sedikit anak usia belasan yang hadir, mereka umumnya pun hanya ikut bernyanyi pada lagu-lagu yang super terkenal saja.



*ternyata duduk enak juga*


sependek ingatan, konser konser sebelumnya selalu saya lewati dengan berdiri sesederhana karena memang saya merasa seperti itulah cara menikmati yang seharusnya. dengan berdiri bersama penikmat konser lain, sensasi imersif dari pengalaman musikal berpadu dengan keringat serta senggolan akan lebih terasa. apalagi kalau musik yang dibawakan berbau rock ‘n roll seperti malam itu.

namun kebetulan kali ini saya dapat tiket duduk di tribun dengan sudut pandang yang cukup lumayan, cukup jelas untuk melihat ketika ada maracas yang dilempar ke kerumunan. mungkin kualitas pandangan di tribun seperti ini cuma kalah dengan orang yang berdiri menempel di pagar pembatas di bawah panggung. dan ternyata enak juga berada di sana. saya masih bisa berdiri kalau merasa perlu, dan duduk dengan nyaman kalau sudah mulai capek.






( Foto dari IG Iqbal dengan background saya, Irvan & Iqbal acquaintance di Perth sesama penggemar Oasis)










*berinteraksi dengan orang asing*


sebagai konsekuensi langsung dari duduk di tribun, maka interaksi intens dengan pengunjung di sebelah akan tidak terelakkan. adalah seorang pria akhir 30an yang menghampiri kursi sebelah dan langsung memberikan sapaan bersahabat. dengan aksen yang kental dan setengah bercanda ia bilang bahwa kadang duduk di sebelahnya bisa terasa seperti neraka tetapi ia berjanji akan berusaha lebih tenang dari biasanya. meskipun ini bukan merupakan pengalaman pertamanya, ia mengungkapkan masih merasa sangat antusias untuk menyaksikan seorang legenda yang sudah diidolainya sejak kecil.

sembari menunggu penampilan utama malam itu, diputar beberapa lagu yang mengiringi kru melakukan tugasnya. pria ini pun memberikan insightnya mengenai setiap lagu yang diputar. misalnya ketika Last Nite milik The Strokes mengalun ia menjelaskan bahwa ini merupakan lagu yang ia kulik di sekolah. lalu, saat suara Ian Brown menggema, ia memberi tahu bahwa lagu Stone Roses sering diputar karena faktor pertemanan sesama akamsi Manchester. kemudian sesaat setelah selesai mengikuti reff di lagu Sticks and Stones, ia menjelaskan bahwa Jamie T seharusnya mendapatkan rekognisi lebih dan lagu Sheila merupakan sebuah mahakarya.

di luar obrolan musik, ia pun mencoba merekrut saya menjadi suporter klub bola favoritnya di kampung halaman yang memiliki simbol macan pada lambang klubnya. ia pun menambahkan bahwa keadaan di daerahnya buruk dan ia lebih memilih tinggal di sini dengan karena keadaan yang lebih baik.

itu tadi adalah beberapa hal menarik yang saya ingat dan berkesan di luar jalannya konser. lalu bagaimana dengan konsernya itu sendiri? ya seperti seharusnya: BIBLICAL.




Kamis, 19 Mei 2022

Road to Australia part I : First Class Experience?

#RoadToOz



18 Maret 2022

Sh*t happens. Whether you want it or not. Even when you prepared everything right. But there’s always a help come from God when you really in need.

Udah nginep deket bandara dan dateng 3 jam sebelum tetep aja ada drama. Yah namanya juga pandemi. Semua serba tergagap-gagap dengan peraturan yang berubah dengan cepat. Hari ini syaratnya bisa A besok bisa Z. Esuk dele sore tempe.  

Gitu tuh dampaknya ga cuman pelancong yang bingung, petugas bandara pun semua gelagapan.


Sejak di counter check in perasaanku ga enak. Antrean sebelum aku maksimal seperempat jam udah melenggang bebas. Tapi sudah sekitar 30 menit aku belum memegang boarding pass! Di seberangku mbak-mbak petugas check in SQ membolak balik halaman dokumen yang sudah aku masukan rapi jadi satu ke folder, ada kalo 50 lembar untuk tiga penumpang aku dan dua anakku. Asli, plek kayak mau ngelamar kerjaan. Bahkan halaman dari web imigrasi dan Ministry of Health Asutralia juga udah kuprint dan ku-stabillo bagian; all children below 4 predeparture test is not mandatory. Dia masih tidak yakin Zozo bisa terbang tanpa PCR dan bahkan antigen. Sehingga harus berkali-kali menelepon, yang kutebak mungkin kedutaan Australia. Ya memang kulihat dari tadi sepertinya hanya aku yang membawa balita. Lainnya solo traveler maupun pasangan muda atau bahkan justru lansia~ lancar-lancar saja.
Melihat mukaku yang semakin cemas salah satu petugas lainnya menghampiriku. Bertanya apa butuh bantuan nanti di changi? Karena aku terbang tanpa suami. Akupun menolak halus karena memang sudah terbiasa, pun juga ragu-ragu dengan fasilitas tersebut berbayar atau nggak. LoL


Di saat Zozo mulai rewel karena bosan dia menyerahkan boarding pass bersama pasporku. Akhirnya! kubergegas menyeret kakiku yang udah gemetar karena kurang duduk menuju ke pemeriksaan imigrasi. Tapi di depan mata ada ratusan jamaah umroh yang sedang mengantri. Allahuakbar.
Kebanyakan para lansia ini belum mengerti bahwa ponsel, ikat pinggang maupun tas paspor kecil tetap harus melewati xray. Sehingga setiap kali metal detector berbunyi dan petugas menyuruh satu persatu melepas barang bawaannya, makin memperlambat laju antrian. 
Tak terasa 45 menit berlalu di pemerikasaan bagasi. Untung kemudian petugas mempersilahkan aku lewat jalur prioritas. Fyuh lega, meskipun keringat bercucuran, jangankan mau touch up, kerudung udah offside aja sampe ga kuperhatikan. Kukira sudah sampai situ saja, namun ternyata klimaksnya justru baru di mulai di depan petugas imigrasi setelah kuserahkan pasporku dan anak-anak.




“Mau kemana?”
“Ke Perth, Pak”
“Kuliah?”
“Nggak pak, suami yang kuliah”
Kemudian petugas meminta salinan visaku.
“Kok visanya student..?”
“Ya kan memang dependant subclassnya sama pak, 500”
Masih terlihat ragu, dia kemudian membawa pasporku ke sebuah ruangan dan menyuruhku menunggu. Ada sedikit rasa penasaran jika aku berbohong menjawab “iya saya kuliah “apakah akan langsung lolos? Tapi sudah menjadi prinsip ku bahwa kebohongan setitik hanya akan merusak kejujuran yang sebelanga. Apalagi ini urusannya sama gerbang negara. 



Kugunakan kesempatan itu untuk melirik pesan di hpku dari Pabogi “udah aman?” 
Kubalas dengan menceritakan dengan singkat bahwa aku masih tertahan di imigrasi dan meminta dia standby siapa tau ada dokumen yang nanti diperlukan.  
Karena ini bukan pengalaman pertama tertahan di imigrasi—dahulu pabogi juga pernah diinterogasi di Woodland ketika kami trip dari Malaysia menuju singapore—jadi aku tak begitu khawatir karena semua syarat sudah kupenuhi dan aku tidak berniat buruk. Justru ketakutanku adalah ketinggalan pesawat! Ya, penerbangan ga akan mentolelir mau kita sakit perut, kejebak macet, maupun ketahan di imigrasi kalo ga bisa hadir sebelum last call. Pikiran buruk tentu saja sempat menggelayut, dan aku mencoba tenang dengan mengingat-ingat klausul asuransi perjalananku apakah bisa ter cover jika memang benar-benar terjadi.
Sebelum pikiranku kemana-mana kemudian petugas itu kembali mendatangi kami. 
“Mbak silakan ikut ke ruangan akan ada pengecekan lebih lanjut..”

Nah kan. Terjadi lagi.

Kemudian aku berjalan mengikuti petugas itu kesebuah ruangan berukuran 4*3. Kulihat di ruangan sebelahnya yang pintunya terbuka:





ada satu ibu-ibu juga membawa balita. Di dalam ruanganku sudah ada satu petugas perempuan berhijab dan satu petugas laki-laki menunggu. Kemudian aku duduk di kursi yang disediakan. Pertanyaan seperti petugas pertama tadi diulang dan jawabanku masih sama. Hanya aku tekankan lagi bahwa aku bersedia menghubungi IDP agenku mengurus visa jika diperlukan. Kemudian dia membuka dokumen dan menemukan exit permit dari Kemenlu. Setelah mengetahui bahwa pabogi adalah ASN kemudian air mukanya berubah, susasana mencair, mungkin baginya sebuah status ‘sesama’ pegawai negeri bisa memperkuat keyakinan bahwa aku nggak terlibat child tradficing maupun mau jadi TKI. entahlah. Kemudian dia hanya meminta foto kartu mahasiswa suami sebagai laporan. Kupikir ini cukup aneh sih walau bisa dimaklumi di situasi seperti ini. Membayangkan jika yang kena random check bekerja di sektor swasta. Well, in the end I feel so right karena udah berkata jujur. Jika tadi aku bilang mahasiswa mungkin aku ga akan bisa lolos secepat itu ketika akhirnya di crosscheck. Lesson learnt.





Damn. Kulihat waktu tinggal 30 menit dari waktu boarding. Akupun setengah berlari menuju gate yang naudzubillah jauhnya. Apalagi Zozo mulai merengek nggak nyaman di gendongan : mungkin karena lapar dan lelah. Akupun juga, tapi rasa takut tertinggal pesawat lebih dominan jadi perut kosongku tak kurasa. Langkahku kupercepat, kulihat badan pesawat SIngapore Airline masih berada di luar garbarata Gate yang aku tuju padahal harusnya sudah lewat waktu boarding. Akhirnya aku lepaskan carrier Zozo, duduk dan mulai mengatur nafas. Baru kerasa capeknya lari-larian ngejar penerbanga. Semenit dua menit. Belum ada juga tanda-tanda petugas yang berjaga. Status di papan LED  juga masih 'on schedule". Kulirik area toilet yang nggak seberapa jauh. Baiklah menuju tandas, Sempat juga ngajakin anak-anak buang air kecil plus berishin muka kucel ini setitik. 



Ketika aku keluar posisi penumpang juga masih belum berubah posisi. Kulihat beberapa ada yang menyiratkan bete karena belum bisa naik pesawat. Apakah ada maintenance dan delay pikirku. Entahlah aku nggak terlalu khawatir hal lain selain udah berhasil sampai ke titik dimana aku menunggu di depan gate di kursi prioritas ibu dengan anak. Kugunakan waktu itu untuk akhirnya melakukan video call ke  pabogi yang mungkin sudah khawatir dan akhirnya melihat kelegaan di wajahnya setelah mengetahui kami nggak ketinggalan pesawat.



Nggak beberapa lama, seorang ibu sambil mendorong stroler mendekatiku: Wah dia yang kulihat adan di ruang interogasi sebelahku tadi! Disampingnya petugas Singapore Airline nampak nampak mendampingi mempersilahkan ibu-ibu dengan t-shirt putih dan celana jeans denim itu duduk di sampingku. Kamipun kemudian saling berkenalan dan bertukar cerita  ketika di dalam ruang interogasi tadi. Ternyata dia adalah mahasiwa sebuah universitas di Jepang dan hari itu adalah hari pertama border dibuka semenjak pandemi. Dan seperti yang kuduga masalahnya hanya petugas butuh waktu lama untuk memastikan apakah benar sudah boleh terbang. Kemudian kita chit chat hal-hal kecil masalah parenting dan flying with kiddos sampai akhirnya Petugas tadi kembali menghampiri kami.

"Ibu silakan boarding terlebih dahulu mari kami antar" Kata petugas check in mempersilahkan. Kami pun berpamitan. 

Dang! Aku baru sadar kalo mbak barusan itu penumpang first class. Makanya meskipun pesawat sudah siap  penumpang lain dari tadi belum bisa naik pesawat karena nunggu mbak yang hanya beberapa menit di belakangku ini boarding. MasyaAllah. Beli tiket ekonomi tapi ngerasain pakai First Class karena ditungguin walaupun harusnya telat. Semoga suatu saat juga bisa ngerasain sky-suitenya SQ ya :) AAMIIN




Kamis, 05 Mei 2022

Tentang Kaligarki

 



Halo.....

Long time no blogging. Setelah drama lupa perpanjang hostingan ketika masih Baby Blues part 2~ agak-agak trauma mau ngeblog lagi. Blog dengan ratusan ribu visitor dan adsense ilang, not to mention segala karya dan curahan hati yang sifatnya tak ternilai itu rasanya sakit tapi ga berdarah. Ada sih beberapa temen yang ngomporin untuk nge-Vlog but sadar diri that's just not my strongest suit... akhirnya balik journaling ke blog lama yang berdebu dengan wajah baru tentunya . Yaay..


Kenapa rebranding jadi Kaligarki?


Pertama bikin blog dulu emang ga punya nieche khusus, cuman nulis yang aku seneng aja dan asal aja kasih nama blog. Lama kelamaan aku makin menemukan keasyikan ngulik lifestyle, traveling dan parenting. Dan yang belum tahu aku pernah nulis di instagram pribadiku kenapa kok awalnya muncul nama "Kaligarki".


πŸ’§ΠΊΞ±β„“ΞΉπŸ’§
[Jawa : Sungai]

Aku lahir dan dibesarkan di kampung yang bernama Kalioso, karena dulunya terdapat sungai yang mengalir dari mata air kaki gunung merbabu, sampai kemudian industrialisasi menjadikan sungai yang bersih turun kasta jadi kalen (selokan/parit). Namun begitu tetap saja masa kecilku juga tak lepas dari diam-diam bermain menyusurinya, mencari iwak cethul kalo anak kampung bilang. Meskipun sering kali terpeleset dan gatal gatal tak kapok karena mengasyikkan.

Sewaktu sekolah dan ketemu sama suami, saya cuma tahu rumahnya Suruh, kab. Semarang. sampai akhirnya dititik kami semakin dekat dan serius saya baru tahu kalo desa suami namanya juga ada unsur sungainya: Kalisat.

Setelah menikah dan akhirnya memutuskan menjadikan Salatiga homebase kami dan membangun rumah yang kami tempati sekarang. Lagi-lagi jodohnya tanah kami berada persis sebelah jembatan diatas sungai πŸ˜‚

Begitulah latar belakang dibalik branding @kaligarki . Ada sejarah dan doa disana. Meskipun bapak ibunya dari desa yang bernama Kali semoga anak-anak rejekinya sampai ke Silicon Valley KALIfornia. 🀲🏻





Dan lucunya sekarang rumah yang kami tinggali di Perth juga dekat banget sama Swan River (kalau ini sungai beneran :D) loh jadi masih ada unsur Kali-kalinya kan.






...sekarang nama itulah yang dijadikan untuk hunian kami di Home Base Salatiga yang sekarang sedang disewakan lewat airBnB. Salah satu mimpi kami yang akhirnya terwujud. Nanti prosesnya akan kami ceritakan di lain waktu ya . Doakan istiqomah bisa rajin ngeblog dan sharing lagi :)