#RoadToOz
18 Maret 2022
Udah nginep deket bandara dan dateng 3 jam sebelum tetep aja ada drama. Yah namanya juga pandemi. Semua serba tergagap-gagap dengan peraturan yang berubah dengan cepat. Hari ini syaratnya bisa A besok bisa Z. Esuk dele sore tempe.
Gitu tuh dampaknya ga cuman pelancong yang bingung, petugas bandara pun semua gelagapan.
Sejak di counter check in perasaanku ga enak. Antrean sebelum aku maksimal seperempat jam udah melenggang bebas. Tapi sudah sekitar 30 menit aku belum memegang boarding pass! Di seberangku mbak-mbak petugas check in SQ membolak balik halaman dokumen yang sudah aku masukan rapi jadi satu ke folder, ada kalo 50 lembar untuk tiga penumpang aku dan dua anakku. Asli, plek kayak mau ngelamar kerjaan. Bahkan halaman dari web imigrasi dan Ministry of Health Asutralia juga udah kuprint dan ku-stabillo bagian; all children below 4 predeparture test is not mandatory. Dia masih tidak yakin Zozo bisa terbang tanpa PCR dan bahkan antigen. Sehingga harus berkali-kali menelepon, yang kutebak mungkin kedutaan Australia. Ya memang kulihat dari tadi sepertinya hanya aku yang membawa balita. Lainnya solo traveler maupun pasangan muda atau bahkan justru lansia~ lancar-lancar saja.
Melihat mukaku yang semakin cemas salah satu petugas lainnya menghampiriku. Bertanya apa butuh bantuan nanti di changi? Karena aku terbang tanpa suami. Akupun menolak halus karena memang sudah terbiasa, pun juga ragu-ragu dengan fasilitas tersebut berbayar atau nggak. LoL
Di saat Zozo mulai rewel karena bosan dia menyerahkan boarding pass bersama pasporku. Akhirnya! kubergegas menyeret kakiku yang udah gemetar karena kurang duduk menuju ke pemeriksaan imigrasi. Tapi di depan mata ada ratusan jamaah umroh yang sedang mengantri. Allahuakbar.
Kebanyakan para lansia ini belum mengerti bahwa ponsel, ikat pinggang maupun tas paspor kecil tetap harus melewati xray. Sehingga setiap kali metal detector berbunyi dan petugas menyuruh satu persatu melepas barang bawaannya, makin memperlambat laju antrian.
Tak terasa 45 menit berlalu di pemerikasaan bagasi. Untung kemudian petugas mempersilahkan aku lewat jalur prioritas. Fyuh lega, meskipun keringat bercucuran, jangankan mau touch up, kerudung udah offside aja sampe ga kuperhatikan. Kukira sudah sampai situ saja, namun ternyata klimaksnya justru baru di mulai di depan petugas imigrasi setelah kuserahkan pasporku dan anak-anak.
“Mau kemana?”
“Ke Perth, Pak”
“Kuliah?”
“Nggak pak, suami yang kuliah”
Kemudian petugas meminta salinan visaku.
“Kok visanya student..?”
“Ya kan memang dependant subclassnya sama pak, 500”
Masih terlihat ragu, dia kemudian membawa pasporku ke sebuah ruangan dan menyuruhku menunggu. Ada sedikit rasa penasaran jika aku berbohong menjawab “iya saya kuliah “apakah akan langsung lolos? Tapi sudah menjadi prinsip ku bahwa kebohongan setitik hanya akan merusak kejujuran yang sebelanga. Apalagi ini urusannya sama gerbang negara.
Kugunakan kesempatan itu untuk melirik pesan di hpku dari Pabogi “udah aman?”
Kubalas dengan menceritakan dengan singkat bahwa aku masih tertahan di imigrasi dan meminta dia standby siapa tau ada dokumen yang nanti diperlukan.
Karena ini bukan pengalaman pertama tertahan di imigrasi—dahulu pabogi juga pernah diinterogasi di Woodland ketika kami trip dari Malaysia menuju singapore—jadi aku tak begitu khawatir karena semua syarat sudah kupenuhi dan aku tidak berniat buruk. Justru ketakutanku adalah ketinggalan pesawat! Ya, penerbangan ga akan mentolelir mau kita sakit perut, kejebak macet, maupun ketahan di imigrasi kalo ga bisa hadir sebelum last call. Pikiran buruk tentu saja sempat menggelayut, dan aku mencoba tenang dengan mengingat-ingat klausul asuransi perjalananku apakah bisa ter cover jika memang benar-benar terjadi.
Sebelum pikiranku kemana-mana kemudian petugas itu kembali mendatangi kami.
“Mbak silakan ikut ke ruangan akan ada pengecekan lebih lanjut..”
Nah kan. Terjadi lagi.
Kemudian aku berjalan mengikuti petugas itu kesebuah ruangan berukuran 4*3. Kulihat di ruangan sebelahnya yang pintunya terbuka: