Halaman

Rabu, 21 Maret 2012

Nobody wants to be lonely.


Mbah Diro. Seorang dhuafa renta yang tinggal di sebuah kampung di Kelurahan Kerten, Solo. Setelah tertunda sampai beberapa saat karena kesibukan kami berdua, akhirnya kami, (Saya dan Leoni Bunga) menyempatkan diri menyampaikan bantuan dari Sedekah Yuk, ksebuah non profit cause independen yang bergerak memberi bantuan pada kaum dhuafa dan fisabillialah. Akses menuju rumah beliau cukup sulit, hanya lorong sempit berukuran sekitar 1 meter di belakang rumah-rumah yang menyembunyikan kediaman beliau. Kalau memang tidak dengan sengaja melewati jalan itu, pasti tidak seorangpun tahu ada kehidupan di rumah tua berukuran 6x8 meter itu.





Ketika kami datang, pintu rumah mbah Diro sudah terbuka lebar. Dan, jangan berharap pemandangan rumah dengan ruang tamu dan dapur terpisah, disana tempat tidur, meja makan , dapur jadi satu. Dan kami dapat melihat beliau sedang tertidur di-dipan-nya yang lusuh, senada dengan seluruh perabotan tua- di dalam rumahnya yang tanpa ubin. Awalnya kami ragu-ragu, apakah harus membangunkannya atau datang lain kali. Mengingat kesibukan kami, kami tidak yakin bisa datang lagi dalam waktu dekat kesana. Akhirnya kami beranikan untuk mengetuk pintu kayunya dan mengucap salam- berharap dalam hati si embah tidak terkejut karena kami bangunkan. Mengetuk dan salam sampai beberapa kali, dengan volume yang sedikit kami keraskan mengingat pendengaran beliau sudah berkurang.





Akhirnya beliau terbangun dan langsung mempersilahkan kami masuk, walaupun beliau sudah tidak kuasa untuk bergegas bangun dan menyambut kami namun keramahannya dalam menerima kami tampak dari usahanya untuk segera bangun dan duduk di tepi ranjangnya. Kamipun menghampirinya, beliau duduk membelakangi cahaya dari jendela tuanya. Baru setelah kami mendekat terlihat jelaslah seluruh kelelahan dalam wajahnya, tergambar di tubuhnya yang kurus kering, namun begitu masih menyisakan guratan kecantikan di masa mudanya.




Tanpa membuang waktu, karena matahari sudah semakin rindu pada peraduannya, kami langsung mengutarakan maksud kedatangan kami dan kemudian menyerahkan bantuan dari Sedekah Yuk. Dengan tangan bergetar mbah Diro menerima uang tersebut, entah itu karena parkinson, Arthritis , penyakit yang biasa diderita kaum geriatis atau karena beliau terharu. Namun hati saya trenyuh ketika beliau langsung mengucap takbir 'AllahuAkbar', sambil menggengam tangan sahabat saya, Leonie. Tak bisa dipungkiri beliau nampak bahagia menerima sedekah tersebut dan dengan berkaca-kaca mendoakan kami semua serta bercerita tentang bagaimana selama tujuh tahun ini dia hidup sendiri tanpa suami dan anak dan hanya ditemani tongkat yang membantunya berjalan setelah satu kakinya pernah cidera garapgara terjatuh. Tujuh tahun sendiri tanpa anak dan keluarga? Kupikir cuma orang kuat yang mendapatkan cobaan seperti itu dan tetap berjuang melewatinya. Selama tujuh tahun ini beliau kadang tidak punya nasi untuk dinanak, dan makan dari buah, umbi, dan daun yang tumbuh sekitar rumahnya. Walaupun sebagian beesar dari komunikasi kami banyak kendalanya karena keterbatasan indra pendengaranya- maklum mbah Diro sudah hidup dari jaman penjajahan, entah berapa lama dia hidup karena dia sendiri tak bisa mengingat umurnya. Kamipun pamit tak selang beberapa waktu karena hari sudah mulai senja.
 
Well, jujur saja di malam dingin berangin kencang seperti ini, saya teringat beliau, apa rumah separuh papan beliau baik-baik saja, apa yang beliau makan ataukah siapa yang beliau ajak bicara ketika hari dingin seperti sekarang. Semua itu membuat saya begitu bersyukur selalu berada dalam kecukupan dan kehangatan keluarga kekasih dan teman. Nikmat yang tidak mungkin saya dustakan dan akan selalu saya mohonkan agar bertahan selamanya, karena saya yakin di dunia ini tak ada yang ingin hidup sendirian.