Halaman

Minggu, 13 Mei 2012

Creative Education Does Matter!

       Bangsa yang kuat adalah bangsa yang mandiri. Tolok ukur kemandirian itu bisa dilihat dari banyaknya program wirausahawan/entepreneur dalam menopang ekonomi bangsa. Sebagaimana Dr. Judy Matthews, profesor di bidang ekonomi, dalam jurnalnya 'Creativity and Entrepreneurship: Potential Partners or Distant Cousins?' meyebutkan : 
"Creativity and entrepreneurship, like innovation, have been recognized as important contributors to a nation’s economic growth." 
      Indonesia sendiri pada data per Januari 2012 hanya memiliki 1,5 % penduduk yang menjadi entrepreneur, menurut situs Bisnis Indonesia. Sedangkan pada 2011 lalu Belanda telah memiliki 12% wirausahawan dari populasi pekerja keseluruhan. Data tersebut menunjukan Belanda paling unggul diantara negara-negara Eropa bagian barat. Bahkan Menteri Ekonomi Belanda, Maxime Verhagen, menyatakan “Dutch more entepreneurial than United States” yang mana pada januari 2011 Amerika Serikat hanya memiliki 10% penduduk yang bekerja sebagai entrepreneur. Nah pertanyaannya kemudian, bagaimana Belanda bisa menumbuhkan presentase  sedemikian besar? Jawabannya adalah melalui pendidikan. 
Kompetisi The Next Level
        Peran pemerintah sangatlah penting dalam membentuk generasi entrepreneur dengan cara menyediakan ruang dan fasilitas bagi inovasi melalui pendidikan sejak usia dini. Untuk mendayagunakan masyarakat yang kreatif maka dibutuhkan program-program kreatif pula dari pemerintah sendiri. Pemerintah Belanda dalam hal ini telah berkomitmen sejak tahun 2000 untuk memajukan, mendukung dan memfasilitasi bidang kewirausahaan melalui institusi pendidikan. Sebagai salah satu wujud dari komitmen itu pada tahun 2008 Menteri Ekonomi Belanda mencanangkan kompetisi wirausaha 'The Next Level' bagi pelajar kejuruan tingkat menengah dan atas. Program itu berupa hadiah sebesar €5000 bagi siswa yang paling kreatif dalam mengembangkan program kewirausahaan. Program-program penyuntikan 'virus' entrepreneurship pada institusi pendidikan seperti Education takes Action! dan HOPE (The Holland Progam on Entrepreneurship) juga tumbuh pesat didukung oleh pemerintah Belanda. 
       Menurut situs http://www.government.nl, pemerintah Belanda berusaha menghapuskan paradigma bahwa pelajar tidak boleh memiliki usaha sampingan misalnya dengan menawarkan beasiswa wirausaha untuk pelajar seperti Student Entrepreneur Prize (Studenten Ondernemersprijs, StuOp) maupun Student Programme on Entrepreneurship (SPOE). Hasilnya pada tahun 2011 terlihat peningkatan signifikan sejumlah institusi di Belanda yang mengintegrasikan prinsip-prinsip kewirausahaan dalam kebijakan sekolah maupun kurikulumnya. Dan secara domino, efeknya mulai banyak terlihat lulusan-lulusan perguruan tinggi yang siap membuka bisnis baru yang self-employed maupun yang menyerap tenaga kerja profesional. 
       Belanda telah membuktikan bahwa kurikulum berbasis entrepreneurship merupakan sebuah inovasi dalam bidang pendidikan yang berimbas positif pada sektor ekonomi. Mungkinkah hal tersebut juga jawaban untuk permasalahan bangsa Indonesia mengenai masalah pengangguran dan penyerapan tenaga kerja? Well, you decide.

Rabu, 02 Mei 2012

Quarter Life Crisis | This is How to Deal


     Mendengar istilah Krisis Seperempat Baya atau Quarter Time Crisis mungkin masih asing di telinga sebagian besar orang. Padahal sebuah studi di Amerika Serikat menyebutkan krisis ini justru lebih sering dialami daripada Krisis Setengah Baya atau Midlife Crisis yang lebih populer. Bagi anda yang tidak sadar mengalaminya, perasaan jengah mendengar pertanyaan mengenai pekerjaan yang anda jalani, gelisah jika ada teman menikah, atau khawatir akan masa depan anda, mungkin anda sedang mengalami krisis ini. 
    Krisis ini merupakan suatu gejolak psikis yang menyebabkan depresi  kebingungan, dan ketidakpuasan dalam hidup. Hal ini sering dialami oleh berada berada di kisaran twentiesomethings, yaitu sekitar usia 21-27 tahun, yang baru saja menyelesaikan kuliah dan memasuki dunia kerja. Kombinasi antara perubahan pola hidup, tuntutan finansial, asmara, karir adalah hal yang melatarbelakangi terjadinya krisis ini. Walaupun tidak sedikit juga yang mampu melewatinya atau merasa tidak mengalaminya, karena kembali lagi tuntutan tidup tiap orang berbeda-beda. Apalagi jika anda datang dari keluarga pada umumnya yang mengharapkan anak gadisnya segera menikah, sedangkan bagi anda yang ingin membangun karir , menikah bukanlah  prioritas anda.

Istilah ini awalnya mulai diperkenalkan oleh Abby Wilner pada tahun 1997. Dalam bukunya ”Quarterlife Crisis: The Unique Challenges of Life in Your  Twenties” yang ia tulis bersama Alexandra Robbins pada tahun 2001.  Wilner menjelaskan bagaimana lompatan kehidupan dari dunia akademis menuju dunia profesional sering menyakitkan dan memicu respon ketidakstabilan luar biasa pada diri seseorang. Perubahan yang awalnya terasa begitu konstan dihadapkan dengan beragam pilihan yang tak jarang memunculkan rasa panik tak berdaya.
Ketidakstabilan, perubahan, dan rasa tak berdaya inilah yang seringkali menimpa pemilik usia 20-an. Dalam bukunya, menurut Abby Wilner, mereka yang sedang dalam fase krisis seperembat baya biasanya mengalami hal-hal seperti ini berikut:

  • ü merasa tidak cukup baik karena tidak menemukan pekerjaan yang senilai dengan level akademiknya
  • ü rasa frustasi pada hubungan antarmanusia, dunia kerja dan proses menemukan pekerjaan/karir
  • ü kebingungan pada identitas diri
  • ü rasa ketakutan akan masa depan
  • ü rasa ketakutan pada rencana jangka panjang dan tujuan hidup
  • ü rasa ketakutan pada keputusan saat ini
  • ü kekecewaan pada pekerjaan
  • ü nostalgia pada kehidupan kuliah bahkan masa sekolah
  • ü kecenderungan untuk memilih opini-opini yang lebih kuat
  • ü kebosanan pada interaksi sosial
  • ü kehilangan keakraban pada teman sekolah/kuliah
  • ü stress finansial (beban hutang dan mulai memikirkan besarnya biaya hidup, dll)
  • ü kesepian
  • ü keinginan memiliki keluarga/anak
  • ü perasaan bahwa semua orang melakukan hal yang lebih baik darimu
  • ü status fresh graduate alias ‘tidak punya pengalaman kerja’ hingga terjebak pada pekerjaan-pekerjaan membosankan yang tidak sesuai dengan keahlian intelektual
Enjoy the process.
           Berusaha melawan, marah, frustasi memang merupakan perasaan tidak dapat dihindari ketika kita dibawah suatu tekanan. Namun ingatlah anda tidak sendirian, karena diluar sepengetahuan anda bisa jadi teman anda yang anda anggap sukses itu juga mengalami hal yang yang serupa. Deborah Smith, Professor Sosiologi di University of Missouri, Kansas City mengatakan bahwa, “Beranjak dewasa dan memikirkan bagaimana masa depan Anda akan terasa menyakitkan, terutama dalam masa quarter life crisis. Namun, ini merupakan hal alamiah". Buang kecemasan dan pikiran low-self esteem bahwa anda tidak lebih baik dari orang lain dari sekarang.
80-20.
            Diambil dari prinsip  "Paretto Priciple" oleh Vilvredo Paretto, konsep untuk membangun karakter yang sehat kita harus berkumpul 80% waktu kita dengan 20% inner circle yang membuat kita pandai bersyukur. Anda tentunya punya banyak teman dan kenalan,  mungkin ribuan jumlahnya. Namun hati-hati karena tidak semua pertemanan itu sehat dan membangun. Terkadang ada sejumlah relasi yang justru membuat anda tidak puas dengan diri anda. Bangunlah network dengan orang-orang yang membuat anda nyaman menjadi diri sendiri, mengerti tujuan hidup anda dan  senantiasa mendukung anda. Memiliki network dengan orang sukses mungkin bisa menjadi motivasi, tapi salah-salah jika anda kurang hati-hati, justru mental dan kepercayaan diri anda bisa dipatahkan oleh orang punya pemikiran kurang positif.
I do what I like, I like what I do.
            Jumlah gaji memang menjadi pertimbangan utama saat memilih pekerjaan. Tapi bagaimana jika pekerjaan itu nantinya membosankan dan tidak sesuai dengan interest anda? Hal ini pula yang kadang menjadi pemicu munculnya krisis ini. Perasaan tidak puas dengan pekerjaan dan selalu bimbang ketika melihat rekan dengan  gaji yang lebih tinggi merupakan tantangan jika anda memakai nominal gaji atau prestice sebagai patokan utama anda dalam bekerja. Realistis itu harus, namun . Ingat kesuksesan itu datang karena kesempurnaan, dan kesempurnaan itu datang ketika kita melakukan hal yang kita cintai berulang-ulang tanpa putus asa.
Set goal, not expectation.
            Sering mengalami kekecewaan dan perasaan cemas akan kegagalan merupakan salah satu yang harus dialami ketika kita memasang target jangka panjang, misalnya; umur  umur 35 membeli rumah, skor TOEFL harus 650 dalam 3 bulan. Hal-hal tersebut nantinya akan terasa sangat jauh dan berat karena anda toleransi waktu yang tinggi akan memberi kesempatan untuk berleha-leha. Maka mulailah memasang target yang lebih dekat, ringan dan realistis. Misal target bisa menabung 20% pendapatan bulanan anda secara rutin selama setahun. Berlatih bahasa inggris seminggu sekali dengan ahli. Pada akhirnya setelah semua tercapai, anda akan takjub dengan perolehan yang anda dapat tanpa adanya ekspektasi yang berlebihan.
Relax.
            Bersantai dengan hidup bukan berarti malas.  Anda harus tahu kapan saatnya anda harus menikmati hasil jirih payah anda sendiri agar anda bisa berterimakasih pada tubuh anda dengan merawat diri dan berlibur. Jangan sampai kelak ketika anda sudah tua dan mendapati diri anda belum melakukan apapun untuk diri anda sendiri seperti sebuah satir barat 'When you’re young, you’ve got all the time and all the energy to enjoy life, but no money. When you’re in your middle years, you’ve got all the money and all the energy, but no time. And when you’re retired, you’ve got all the money and all the time, but no energy.”
               Semoga bermanfaat :)

Kompetiblog 2012 : Uncle Sam van Oranje

Two weeks ago , Robin Van Persie was the only person that crossed my mind when I heard the word ‘Dutch’. But after I read about Kompetiblog 2012, the name of my lecturer when I was in university rang my bells. He is Mr. Taufiq Al Makmun, a young creative lecturer who always amazes me with his balance betterment of academic life, entrepreneurship, and traveling hobby. The fact that he studied at Utrecht University gave me an idea to interview him. I knew that Mr. Taufiq took American Study for his Master’s degree, but what ‘bothers’ me is why he chose Netherlands instead of United States. 

My curiosity was answered as he explained that his reason was because he had taken American studies (AmStud) classes in the US. So he required a model of the developing AmStud outside the US. Moreover, when he read the profile of AmStud in Utrecht University : the American Cultural Influence —- he was like ‘That’s a creative way in placing the focus of AmStud outside the US which is useful for the country instead.’ I quote.
Mr. Taufiq shared that at the first time the only thing he worried about studying in Netherlands was language barrier. But it turned out, his academic life was totally fine as International program was conducted entirely in English. Even, he was impressed by his professors that were very helpful indeed. He was delighted that he could attend Noah Chomsky’s stadium generale back then, he told. He remarked that he got the opportunity since useful information was easily gained in university.
Beside the academic ease, he was awed by the technologies that Netherlands possess. He told me enthusiastically that they have two-thumbs up water systems throughout the whole country which extends below the sea level and not flooded. He proposed that northern Semarang structure, that is exactly the copy of Amsterdam, should consider the Dutch city’s blue-print which seems had been rejected to minimize their today’s problems.
From the underwater beauty of Wakatobi until sightseeing around NYC which he photographed [that makes me drolling] I feel obliged to ask him about how Netherlands fulfilled his thirst of traveling, and this is what he said:
My biggest motivation, personally, is that I love visiting new places and traveling So I decided to consider Europe after experiencing U.S. Each city has different characteristic, from cultural port of Amsterdam to modern Rotterdam, from the hilly historical Maastricht to placid Groningen. I can’t put my camera off not to miss things in every weekend journey I made. Keukenhoff -the garden of Tulip- is colourful field in the spring; thousands tourist coming each day just to witness the gorgeous garden-a creative industry and money making. Also windmill culture shows a great creativity of mankind, not only its multiple functions but also the beauty of the technology performance in shape.
Having Mr. Taufiq told his experience inspires me greatly.  It strengthens my faith that someday I will have a chance to retrace his journey. *fingercrossed*