Halaman

Senin, 24 Maret 2014

My Maternity Story: My World (now) doesn't revolve around the Sun but my Son

There is a popular saying "Mother of a little boy works from son up till son down" dan itu benar-beran saya alami sendiri sekarang. Termasuk ketika menulis ini saya harus mencuri waktu di sela-sela tidur, menyusui dan mengganti popok si babyboy. Ya setelah satu setengah bulan lamanya, baru hari ini saya bisa menuangkan kembali segala yang menumpuk di pikiran lewat tulisan.

Ah satu setengah bulan lalu,  masih lekat dalam ingatansaya dan suami masih harap-harap cemas.  Setelah kontrol dokter yang terakhir  tanggal 1 Februari, belum juga tanda-tanda akan melahirkan terasa hingga pagi tanggal 3 Februari.  Prediksi HPL 3 dokter kandungan yang berbeda-beda yaitu tanggal 3, 5, atau 6 februari membuat suami yang sedang tugas belajar rela pulang dan skip class sejak akhir januari demi menunggu kelahiran si buah hati. Karena memang sejak awal kehamilan selalu mensugesti dan berkomunikasi dengan Aksa ketika masih di dalam perut agar lahir saat ditungguin ayahnya., namun karena tidak ada sistim cuti dalam tugas belajar  suami juga tidak bisa berlama-lama menunggu tanpa kepastian kapan lahir, bukan? . Walaupun banyak orang yang bilang bahwa kelahiran bisa saja mundur sampai 2 minggu, saya tetap mengafirmasi diri dan janin bahwa dia akan lahir saat ada ayahnya. Dan ternyata benar, tanggal 3 Februari siang hari sekitar pukul 13.00 saya mengalami KPD, ketuban saya pecah, mungkin kecapaian karena setelah pagi jalan-jalan, mengurus surat rujukan  Askes (yang sekarang BPJS), saya masih  sempat mencuci bedcover sekitar pukul 10 pagi. Saya yang sudah diwanti-wanti dokter kalau harus segera ke rumah sakit jika ada tanda-tanda ketuban pecah pun langsung bergegas bersama suami dan ibu. Segala perlengkapan post-partum ibu dan baby untungnya sudah saya siapkan terlebih dahulu kedalam 2 tas yang berbeda sejak sebulan sebelumnya.

Pukul 14.30 saya sudah berada di UGD rumah sakit Ken Saras. Saya memang memutuskan  melahirkan di rumah sakit tersebut setelah sebelumnya saya mempertimbangkan beberapa dokter dan perawatan yang membuat saya nyaman. Pertemuan dengan dr. Bambang Priyambodo, Sp. Og  pun sebenarnya tidak direncana karena hanya mengantar cek rutin kawan yang juga hamil tua.Tapi ternyata kesengajaan tersebut adalah jalan Allah memberi jawaban atas kegalauan saya. Hanya sekali mengobrol saya sudah merasa cocok dengan dokter Bambang, mungkin banyak yang bertanya kenapa sepertinya penting sekali bagi saya untuk memiliki interpersonal communication yang baik dengan dokter kandungan yang membantu persalinan? Karena kelak ketika persalinan saya akan mempercayakan nyawa saya dan bayi saya ditangan beliau. Jadi setelah menimbang untung ruginya akhirnya atas persetujuan suami pula saya memutuskan di RS Ken Saras walaupun agak jauh dari rumah.



Karena ketuban saya sudah pecah, maka perintah dokter adalah saya harus bedrest total bahkan dilarang ke kamar kecil. Pukul 15.00 bidan melakukan VT (vaginal touché) untuk mengecek pembukaan yang ternyata baru 1. Setelah beberapa jam  berada di kamar perawatan kontraksi alami yang ditunggu tak kunjung tiba, yang ada hanya rasa pegal karena seharian hanya tiduran. Segala ajaran prenatal yoga untuk pelvic rocking supaya pembukaan jalan lahir bertambah terpaksa tidak bisa saya lakukan. Setelah di-VT keduakalinya selitar pukul 19.00 pembukaan juga masih 1 ke 2 dengan kepala bayi masih jauh dari jalan lahir namun detak jantung bayi masih normal.  Dan akhirnya pukul 9 dokter menyarankan untuk induksi karena pembukaan belum bertambah untuk mencegah terjadinya infeksi baik ke saya maupun ke janin. Saya yang  semasa kuliah tinggal sekontrakan dengan mahasiswi kedokteran selama kurang lebih 3 tahun tentu saja paham, dari cerita pengalaman mereka yang coas stase Ob/gyn diinduksi itu rasa sakitnya lebih dari kontraksi normal. Apalagi sahabat yang notabene anaknya dokter kandungan pernah wanti-wanti 'Mending caesar deh daripada diinduksi'. Hiks. Terus terang awalnya saya sedih, dalam pikiran saya saat itu 'Kasihan ya babynya pasti masih nyaman di dalam kok dipaksa keluar.  Suami-lah yang menyemangati saya pada saat itu, meyakinkan saya bahwa janin sayapun ingin segera bertemu ibunya. Dan bukankah saya sendiri yang menginginkan anak saya lahir ketika ada ayahnya? Hingga akhirnya terkabul walaupun mungkin dengan jalan induksi. I thought I couldnt ask more, I should thank God instead. Akhirnya dengan bismillah setelah berdoa, memasrahkan diri pada Yang Kuasa menyetujui saran dokter. Induksi oral pertama dan antibiotik masuk ke tubuh saya, sampai induksi yang ke dua dan ketiga 12 jam kemudian saat  barulah rasa mulas yang luar biasa datang walaupun belum terlalu intens frekuensinya.

Pukul 12 siang akhirnya saya dipindah ke ruang bersalin, karena kontaksi sudah datang 5 menit sekali. Sejak itu suami tak pernah pergi dari sisi saya, tak henti-hentinya tangan saya, membisikkan kalimat-kalimat yang menenangkan, memuntun untuk berdzikir. Rasa sakit ketika pembukaan 9 luar biasa, hanya  air putih yang bisa masuk ke lambung, untung saja lumayan terbantu  menahan energi  karena berlatih nafas ketika yoga. Walaupun kadang-kadang ingin menyerah dan mengejan yang saya ingat adalah pesan perawat 'kalaupun terasa ingin mengejan harus ditahan, nanti jalan lahir bengkak justru lebih susah lahir, tidak boleh teriak atau menangis nanti tenaga habis'. Suami yang tak tega melihat saya kesakitanpun tak hentinya memeluk, mengusap, membisikan semangat, semangat karena sebentar lagi bisa melihat yang dinati 9 bulan lamanya. Akhirnya pukul 2 siang lebih dokter datang karena pembukaan jalan lahir sudah lengkap. Dan bismillah dengan sekali mengejan panjang  pukul 14.35 lahirlah aksa ke dunia dengan tangisan yang sangat keras. Airmata meleleh dari kedua mata saya sejurus suami mengecup dahi dan mengucapkan selamat pertama kalinya. Rasa lega dan bahagia mengganti segala lara, apalagi ketika proses IMD dia berada diatas tubuh saya menyentuh kulitnya yang lembut secara langsung, tak henti hati ini mengucap syukur. Well, heaven is not granted in mother's feed for no reason, it's earned

Apakah ceritanya sudah berakhir dan happily everafter? Well, seperti kata salah seorang kawan 'kelahiran anak adalah awal kehidupan baru' ada benarnya. Peraturan rumah sakit yang mengharuskan rooming in dan orang tua mengurus sendiri bayinya cukup membuat kami kelimpungan. Dalam semalam kami yang newbie ini harus jago menggendong, menenangkan, mengganti popok, bedong, pada bayi mungil yang terlihat rapuh itu hanya berdua. Suami yang pucat luar biasa saat malam hari Aksa menangis dan minta diganti popoknya, sedangkan saya yang jahitannya belum kering harus berjingkat-jingkat menyusui. Belum lagi minggu-minggu awal harus mengubah jam biologis tidur kami karena lebih sering bangun di malam hari.  But it's all worthy really.


Awalnya saya sering mengeluh jenuh ke teman sesama ibu mud 'Enak yo beb anakmu wes iso dijak gojeg , Aksa bobok terus ki'. Bahkan kalau Aksa tidur terlalu nyenyak dan lama, saya sering bolak-balik ngecek bernafas nggak dia. *new mom syndrome* tapi benar apa kata dia 'Dinikmati wae masa-masa kui, ada saatnya nanti kamu capek dan jenuh juga kalau anakmu dah bisa tengkurap, apalagi lari kesana-kesini harus selalu diawasi, apalagi kalau udah sekolah kadang rindung masa-masa dia bayi".  Rasa-rasanya satu setengah bulan itu terasa begitu cepat karena seakan baru kemarin saya berjuang melahirkan Aksa ke dunia, begitu kecil dan terlihat tak berdaya. Sekarang dia sudah mulai mendengar, melihat sekeliling, mencoba memiringkan badan, menegakkan kepala sebentar saat tummy time, sudah mulai mengerti rasa aman di dekapan, rasa bosan ingin meliah keluar. Nah saya yang sekarang kelimpungan ah nak janganlah kau tumbuh cepat-cepat!








Tidak ada komentar:

Posting Komentar