Saya bukan sineas apalagi artis yang dirugikan dengan adanya masalah ini. Tapi saya yakin saya termasuk moviegoers, penikmat film dengan rata-rata 100 judul film setahun. Sebut saja judul film, kemungkinan saya sudah pernah nonton, atau mentok baca resensinya.
Bagi pecinta film, menonton film di bioskop adalah suatu kebanggan tersendiri. Terlebih jika film tersebut punya special effect dan sound yang membuat penonton berdecak kagum, seperti film Avatar (James Cameron) misalnya. Pasti hari-hari pertama pemutaran merupakan pertarungan hidup dan mati untuk mendapatkan tiket. Dan rasanya mengeluarkan uang Rp. 30.000 atau lebih itu sebanding. Saya sendiri pernah beli lewat calo saking pengennya nonton salah satu Box Office Hollywood tapi nggak dapet tiket. Well, bukan contoh yang patut ditiru, sih.
Kenapa saya jadi aware tentang film lokal? Padahal saya sendiri bukan 'big fans' of local film industry.Tahun kemarin saja cuma 2 film lokal yang saya tonton di bioskop. Salah satunya Catatan HArian Si Boy, itupun karena saya ngefans sama news-anchor Timothy Marbun, karena dia yang nulis story developmentnya. Karena pengaruh dan gembar-gembor di timeline twitter, sayapun jadi ikutan menyeret sahabat saya, Ikrar, buat nonton (latah juga ya saya). Dan ternyata memang tidak mengecewakan, malah saya harus puji acting dan soundtracknya sangat kuat meskipun kekurangannya masih aja memakai komodity 'banci' sebagai sumber kelucuan. Oh how i miss the silly Warkop DKI. Film lainnya yang saya tonton adalah Garuda di Dadaku 2, itupun karena terpaksa nemenin si adek yang ngotot pengen liat. Ceritanya? Well terkesan biasa saja, tentang gimana harusnya jadi kapten timnas U-13 yang benar dibawah tekanan pelatih, pemegang saham, rival yang juga tangguh, tapi lumayan sih ada adegan Rio Dewanto shirtless. hehe :p
Back to the topic. Akhir-akhir ini banyak produser maupun sutradara film lokal yang 'curhat' di social media bahwa penonton film lokal di bioskop semakin mengenaskan. Hal tersebut menarik minat keingintahuan saya, karena saya sendiri pun termasuk salah seorang yang 'murtad' dari produk dalam negeri. Ampun DiJehhh!
Menurut data yang ditunjukkan di FilmIndonesia.or.id memang terlihat penurunan yang cukup signifikan. Awalnya saya sempat berfikir, apakah ini merupakan tanda-tanda awal dari evolusi intelektual penonton film lokal yang jenuh dengan tema-tema yang itu-itu saja. Namun melihat judul-judul film horor yang masih bertengger di puncak, saya menyadari pikiran saya terlalu naif. Film yang mengeksploitasi perempuan berkutang / ber-hotpants memang masih merupakan komoditi yang paling diminati. Seperti yang saya lihat sendiri di film Garuda di Dadaku, physical exposure merupakan daya tarik kuat untuk mengundang penonton, tidak peduli itu adalah film anak-anak atau bukan.
Di negara yang kolektifitas dan figuritas masih tinggi ini, pendapat beberapa orang saja bisa berpengaruh pada penjualan film. Film yang ditonton oleh presiden/menteri misalnya, akan mengundang 'semut-semut' lain untuk datang ke bioskop. Akhirnya ketika film tersebut tidak sesuai harapan, penonton tidak akan percaya lagi dan semacam membuat stereotype yang kelak membuatnya malas menonton film yang dihadiri pejabat. Saya sendiri salah seorang dari banyak orang yang 'menganggap Film Laskar Pelangi is overrated. Bagus tapi biasa saja, walaupun memang jauh lebih mendidik dari film Ayat-Ayat Cinta. Tapi tidak lantas satu subyek itu bagus untuk dieksploitasi secara habis-habisan, Musical Laskar Pelangi, Sountrack CD, dan sekarang sinetronnya? Nggak kaget dan nggak menyalahkan penontonnya kalau sinetronnya flop di pasaran, dengan rating yang lebih rendah dari acara Musik Lipsinc di pagi hari. Walaupun dikemas dengan pemain berbeda, you tell me, anak kecil aja bisa bilang bosan liat Spongebob Squarepants yang diulang-ulang di Global TV. Kalau film di bioskop sama FTV yang beda cuma kualitas gambar dan settingnya aja, lalu kenapa harus capek-capek dan keluar uang ke bioskop?
Menonton film Indonesia saat ini memang seperti menonton film Hollywood 20 tahun yang lalu. Saya nggak lihat dari spesial effect/teknologinya lho ya, that's absurd. Tapi liat aja penceritaan yang shallow dan mudah ditebak. Kalo film bagus itu harus berbudget tinggi, nggak bener juga. Baru kemarin saya menonton film Chronicle. Film tentang superhuman (lagi), sudah berapa ratus kali sih dijadiin film di Hollywood? Apalagi di 'Tahun Superhero ini'; Sebut saja Spiderman 4, The Avenger, dan Batman, banyak superpower-human-themed movie yang bakal bertarung di bioskop=bioskop musim panas tahun ini. Namun film Chronicle dengan budget $ 12 juta sudah balik modal di minggu pertamanya diputar. Ceritanya simple tapi deep, remaja biasa yang nggak populer, dapet superpower~ berapa dari kita sih yang bakal berpikir mendedikasikan diri kita buat nyalemetin orang - nangkepin penjahat? Lebih masuk akal kan kita bakal pake tu power buat ngerjain orang dan sesuatu yang menguntungkan kita. Perubahan psikologis dan akibat yang ditimbulkannya lah yang menjadi highlight dalam film tersebut . Mengenai mitos artis papan atas filmnya pasti laris, wait, siapa sih Dane DeHaan, Alex Russell di film Chronicle? Ada yang tahu? Nyatanya, nobody-knows actors juga bisa lho bisa bikin film bagus. Saya mungkin bisa juga diajak. Uhuk... *colek filmmaker di seluruh penjuru Indonesia
Untuk senias dan insan perfilman lokal, menurut saya pribadi, tema yang diulang nggak masalah, namun kedalaman dan sudut pandang penceritaanlah yang harus diubah. Dan untuk seluruh penonton, hal utama yang harus diubah adalah pola pikir bahwa menonton itu nggak perlu pendapat orang lain. Bagus/nggaknya itu masalah selera, seperti makanan, nggak bisa dipaksakan. Jujur aja dalam hati, ketika ada temen yang ngereview filmnya jelek, berapa dari kalian sih yang bakal tetep nonton? Atau ketika temen bilang bagus banget ternyata pas diliat biasa aja/ malah jelek? Satu pendapat 'Ah filmnya nggak bagus' ternyata bisa menghancukan reputasi suatu film karena emang karakter masyarakat yang latah dan masih tergantung pendapat orang lain. Nggak ada yang suka tuh, sama The Holiday sama Bridge to Terabithia, kritikus Holywood juga nggak suka, nggak dapet Oscar/GoldenGlobes, tapi saya bisa nonton puluhan kali tanpa rasa bosan. Jadi mulai sekarang sebaiknya kalau ada yang tantya' Filmnya bagus nggak?' mulailah menjawab dengan bijak 'Tonton sendiri aja, terus kita liat ntar pendapat kita sama enggak.' Deal? :)
Setidaknya tahun ini masih optimis bakal ada film lokal yang bakal kutonton, salah satunya film lokal Soegija karya Garin Nugroho. Film kolosal tentang pahlawan Soegijaprananta yang rencananya tayang pertengahan tahun ini. (penasaran jadinya kaya gimana soalnya sempet terlibat dalam juga pembuatanya-hehehehe :p ) Dan juga satu film blasteran yang sudah heboh dari sekarang. Kenapa Blasteran? Sutradaranya bule Irlandia, tapi produser, artis, dan setting domestik aja. :p Yupe, film The Raid, yang katanya bikin kejang-kejang kritikus di screening film Internasional saking bagusnya. Sampe media sekaliber The Guardian aja ngejek Quentin Tarantino kalo film-filmnya yang super-gore masih kalah sama The Raid ini. Shoot! Jadi penasaran dan sekaligus bangga juga! Masa film Inglorious Basterd sekeren itu kalah ma film lokal. Nah momen dimana film-film lokal Indonesia lagi dilirik sama Hollywood buat diremake ini mungkin nggak terjadi dua kali. Jadi, yang pasti jangan sampe film lokal mati suri lagi ya! Jangan layu sebelum berkembang. Nggak usah muluk-muluk mo bikin film bermutu buat nyelametin keterpurukannya. Untuk meningkatkan awareness boleh loh dimulai dari kirim surat sama Punjabi bersaudara supaya stop produserin film horor nggak bermutu, tulis di blog, atau seperti saya bikin tulisan di fesbuk gini, kalo belum pede buat nulis, ini tulisan di-share dulu juga boleh, kok! :)
Kalo menurut kamu kenapa apa yang bikin males nonton film lokal? Kasih tau aku ya? Mungkin nanti aku bisa sampein ke film-maker lokal biar pendapat kamu didengar. :)
Reference: http://filmindonesia.or.id/movie/viewers#.TzXcOMX9PSk
http://www.imdb.com/title/tt1706593/
sudah aku komenin di FB mbak.. hehe
BalasHapus