Kalo dipikir-pikir sudah hampir 6
bulan saya absen nge-blog. Not that I am lazy or something, saat itu saya
sedang mempersiapkan pernikahan saya sendiri. Padahal 8 bulan yang lalu
sepertinya niat saya udah bulat mau bikin jurnal dalam persiapan pernikahan
dari prewedding, resepsi, catering, memilih
menu, menghitung menu, memilih dekorasi dan segala tetek bengeknya. Tapi
nyatanya? Cemyaya jak! kalo orang
Pontianak bilang yang artinya sok gaya aja padahal nggak ada hasilnya.
This may sound like excuse, but
really in that phase nothing could be seen clearly. My mind was fully occupied
with wedding thingy.
Kalau mitos bilang orang mau
nikah banyak godaannya. Yang tepat untuk menggambarkan keadaan saya saat itu adalah
stress pra-nikah. Stess memang meningkat
karena saya mengurus hampir semuanya sendiri. Alasannya karena saya nggak mau
merepotkan orang tua, dan yang nggak bisa ditampik saya ingin semuanya sesuai
selera saya. Sedang suami pada saat itu masih di rantau. Kalau orang lain
katanya dapet cobaan berupa keraguan
terhadap pasangan, well I didn’t buy that. Yang ada di benak saya saat itu bagaimana
kalau ada yang kurang, entah makanannya maupun detil lainnya. Perasaan jadi
semakin nggak menentu, sensitif, pemarah, dan kehilangan semangat. Nggak jarang
juga saya jadi berantem sama suami, tapi untungnya dia sabar dan lebih tenang
dalam menyikapi segalanya.
Meski saya sudah menasehati diri
bahwa “There is nothing such a perfect wedding, but sure you can endeavor a
perfect marriage” atau kalau relasi mencoba menentramkan hati saya ‘Sing
penting ijabe, nduk”, namun tak luput juga frustasi menghampiri. Jangankan mau
nulis, berat badan saya justru terus menurun karena nafsu makan yang tiba-tiba
hilang begitu saja. Kebaya yang baru selesai dipayet juga malah kedodoran makin
bikin saya tambah kepengen mmbenturkan kepala ke tembok. Makanya sebulan
menjelang pernikahan justru saya ‘kabur’ sama teman-teman ke Bali. Kalau orang
bilang sih pamali ya pergi jauh-jauh menjelang hari pernikahan, tapi karena
suami dan orang tua mengijinkan ya, why not?
Pulang dari Bali, (saya selamat
dan bahagia, FYI, so myth busted) lagi-lagi saya berniat bikin field report
perjalanan saya. Tapi lagi-lagi niat doang. Karena saya justru berjibaku dengan
ribuan undangan. Entah itu salah satu sifat perfeksionis saya atau justru menandakan
saya tidak bisa bekerja dengan team. Dari ngetik, ngeprint sampai nempel saya
kerjakan hampir semuanya. Akhirnya menulispun tinggal impian, hari H semakin
dekat semakin banyak kegiatan yang menyita tenaga dan pikiran. Setelah menikah sebulan
lamanya waktu habis terpakai bulan madu dan transisi pindah ke Kalimantan. Ketika
ada kesempatan pulang tiba-tiba netbook ngambek (gara-gara nggak diajak
jalan-jalan kali ya) dan terpaksa saya harus tinggalkan di Solo untuk
diperbaiki. Padahal saya sudah berjanji pada teman-teman dan terutama diri
sendiri bakal membukukan perjalanan saya. *sigh*
Dan waktupun berlalu sampai 3
bulan kemudian akhirnya ada kesempatan memakai laptop dari kantor suami. Saya
baru sadar, menulis itu tidak sama dengan naik sepeda, ketika kamu berhenti
lama, well, you have to start all over again. Beberapa hari yang lalu saya
nggak sengaja baca retweet-an dari editor favorit saya:
A writer is a person who writes
not a person who will write only if his mood tells him so.
*JLEBBBBB. I think my pseudo writer wannabe is bleeding to
die…
ayok semangat nulis lagih sayang!
BalasHapus*tapi kalo bisa pas lagi gak ada aku ya... :p
always love your tulisan hihihihih,,,dimana dirimu sekarang...? *kenopo aku ra bbm wae yo :D
BalasHapusMakasih bu dokter :')
HapusSekarang di Tangerang ni di Bintaro.. Main siniii~ di Jakarta kan?