Halaman

Jumat, 29 Maret 2013

Photography: Is it the gear or is it the man behind it?


I love photography.  Tapi bukan berarti saya adalah seorang  fotografer maupun ingin menjadi salah satunya.  Emang apa bedanya? Fotografer adalah professional yang sebagian atau keseluruhan hidupnya ditunjang oleh hasil karyanya. Sedangkan photography lover adalah penikmat karyanya atau setidaknya aspired to be like them. Sebagai photography lover, saya bisa berjam-jam menikmati ribuan foto-foto indah di Flickr, Photobucket, or whatever you name it tanpa harus pusing memikirkan apakah diambil pakai Canon atau Nikon. Selain karena saya nggak punya keduanya. Lovely is just lovely, no need to be racist. Walaupun nggak nolak juga kalo dikasih EOS 1 D Mark II, sih. *yakaliiiik*

Justru saya sangat menghargai bila dengan gadget yang seadanya tapi dengan usaha dan sepenuh jiwa, orang bisa menghasilkan foto yang bagus. Paradigma bahwa foto yang bagus harus dihasilkan dengan kamera yang mahal harus diubah. Karena kalau kita mau membuka mata banyak juga orang-orang dengan keterbatasan alat atau memang memilih demikian bisa menghasilkan karya yang indah.

Tengoklah pecinta fotografi kamera digital yang menyebut dirinya Pocketography. Pecinta foto dari kamera analog yang tergolongkan dalam lomography. Dan nggak sedikit juga foto-foto indah yang di ambil dengan kamera handphone oleh orang-orang yang mengeklaim dirinya phonegraphy, tak lupa thanks to instagram yang bikin banyak orang menderita pseudo photographer wannabe akut.

Pernah hasil foto saya diapresiasi dengan pertanyaan ‘Bagus fotonya, pakai DSLR Canon atau Nikon?' Pftttt.  Padahal saya cuma pakai kamera digital dengan sedikit edit sana-sini! Untuk menghasilkan foto yang bagus sebenarnya juga tidak sulit tapi memang perlu latihan berulang-ulang. Semakin banyak mengambil foto  maka semakin peka pula mencari posisi paling tepat dalam mengabadikan momen. Kata sahabat saya seorang fotografer “The best gear is the one which you can utilize the most”. Apalah merk dan tipenya ketika kita mahir memakainya maka itulah yang terbaik. Tidak jauh berbeda dengan menggunakan software penunjang misalnya. Saya pernah dapat kerjaan yang membutuhkan photo editing. Dan karena nggak terlalu bisa edit foto pakai photoshop, waktu yang lama sekali dibanding  misalnya menggunakam Photoscape, software  handy kesukaan saya. Seperti contohnya foto yang saya ambil dengan digital camera di Marina Barrage Singapore beberapa waktu lalu:


Jadi buat kamu yang belum punya DSLR jangan berkecil hati. Karena kembali lagi, komposisi sebuah foto bagus itu bukan terletak di alatnya saja. Tapi hasil dari latihan, kecintaan, dan kepercayaan diri. Seperti salah satu pocketographer favorit saya ini, mas Bramantyo Wicakono, beliau ini Cuma pakai kamera Exilim. Tau harganya berapa? Nggak sampai sejuta! 

Hmmmm kalau foto-foto di flickr mas Bram  myPhotoNgasal yang katanya ngasal aja  hasil kayak gini, gimana kalo mas Bram sunguh-sungguh ya *hands down*:


3 komentar:

  1. Saya sih lebih suka kamera yang bisa masuk saku. DSLR ribet bawanya dan sering kehilangan momen tidak terduga. Juga karena kalau saya yang pegang pake DSLR apa kamera hape hasilnya juga gitu-gitu aja :p

    BalasHapus
  2. Sebenernya ada tips buat pengguna DSLR biar nggak kehilangan momen. Ketika kamera akan di-off set dulu jadi auto mode. jadi ketika dapet momen mau jepret udah siap. Tapi saya sih setuju kalo DSLR ribet, berat lagi. Nggak kebayang tuh yang lensanya segede basoka pegelnya kaya apa.

    BalasHapus
  3. berarti yang paling penting aplikasi buat ngeditnya yak :D hidup instahram! :p

    btw, kok kayanya aku juga pernah punya voto kaya gitu :0

    BalasHapus