I love photography. Tapi bukan berarti saya adalah seorang fotografer maupun ingin menjadi salah satunya.
Emang apa bedanya? Fotografer adalah professional
yang sebagian atau keseluruhan hidupnya ditunjang oleh hasil karyanya. Sedangkan
photography lover adalah penikmat karyanya atau setidaknya aspired to be like them.
Sebagai photography lover, saya bisa berjam-jam menikmati ribuan foto-foto
indah di Flickr, Photobucket, or whatever you name it tanpa harus pusing
memikirkan apakah diambil pakai Canon atau Nikon. Selain karena saya nggak
punya keduanya. Lovely is just lovely, no need to be racist. Walaupun nggak
nolak juga kalo dikasih EOS 1 D Mark II, sih. *yakaliiiik*
Justru saya sangat menghargai bila
dengan gadget yang seadanya tapi dengan usaha dan sepenuh jiwa, orang bisa
menghasilkan foto yang bagus. Paradigma bahwa foto yang bagus harus dihasilkan
dengan kamera yang mahal harus diubah. Karena kalau kita mau membuka mata
banyak juga orang-orang dengan keterbatasan alat atau memang memilih demikian bisa
menghasilkan karya yang indah.
Tengoklah pecinta fotografi kamera digital yang menyebut dirinya Pocketography. Pecinta foto dari kamera analog yang tergolongkan dalam lomography. Dan nggak sedikit juga foto-foto indah yang di ambil dengan kamera handphone oleh orang-orang yang mengeklaim dirinya phonegraphy, tak lupa thanks to instagram yang bikin banyak orang menderita pseudo photographer wannabe akut.
Tengoklah pecinta fotografi kamera digital yang menyebut dirinya Pocketography. Pecinta foto dari kamera analog yang tergolongkan dalam lomography. Dan nggak sedikit juga foto-foto indah yang di ambil dengan kamera handphone oleh orang-orang yang mengeklaim dirinya phonegraphy, tak lupa thanks to instagram yang bikin banyak orang menderita pseudo photographer wannabe akut.
Pernah hasil foto saya diapresiasi
dengan pertanyaan ‘Bagus fotonya, pakai DSLR Canon atau Nikon?' Pftttt. Padahal saya cuma pakai kamera digital dengan
sedikit edit sana-sini! Untuk menghasilkan foto yang bagus sebenarnya juga
tidak sulit tapi memang perlu latihan berulang-ulang. Semakin banyak mengambil
foto maka semakin peka pula mencari
posisi paling tepat dalam mengabadikan momen. Kata sahabat saya seorang
fotografer “The best gear is the one which you can utilize the most”. Apalah merk
dan tipenya ketika kita mahir memakainya maka itulah yang terbaik. Tidak jauh
berbeda dengan menggunakan software penunjang misalnya. Saya pernah dapat kerjaan
yang membutuhkan photo editing. Dan karena nggak terlalu bisa edit foto pakai
photoshop, waktu yang lama sekali dibanding misalnya menggunakam Photoscape, software handy kesukaan
saya. Seperti contohnya foto yang saya ambil dengan digital camera di Marina Barrage Singapore beberapa waktu lalu:
Jadi buat kamu yang belum punya
DSLR jangan berkecil hati. Karena kembali lagi, komposisi sebuah foto bagus itu
bukan terletak di alatnya saja. Tapi hasil dari latihan, kecintaan, dan kepercayaan
diri. Seperti salah satu pocketographer favorit saya ini, mas Bramantyo
Wicakono, beliau ini Cuma pakai kamera Exilim. Tau harganya berapa? Nggak
sampai sejuta!
Hmmmm kalau foto-foto di flickr mas Bram myPhotoNgasal yang katanya ngasal aja hasil kayak gini, gimana kalo mas Bram sunguh-sungguh ya *hands down*:
Saya sih lebih suka kamera yang bisa masuk saku. DSLR ribet bawanya dan sering kehilangan momen tidak terduga. Juga karena kalau saya yang pegang pake DSLR apa kamera hape hasilnya juga gitu-gitu aja :p
BalasHapusSebenernya ada tips buat pengguna DSLR biar nggak kehilangan momen. Ketika kamera akan di-off set dulu jadi auto mode. jadi ketika dapet momen mau jepret udah siap. Tapi saya sih setuju kalo DSLR ribet, berat lagi. Nggak kebayang tuh yang lensanya segede basoka pegelnya kaya apa.
BalasHapusberarti yang paling penting aplikasi buat ngeditnya yak :D hidup instahram! :p
BalasHapusbtw, kok kayanya aku juga pernah punya voto kaya gitu :0