Kalau saya mati, Aksa gimana?
Pikiran tersebut sempat terlintas di benak saya beberapa waktu lalu.
Berlebihan memang, tapi saya pun tak menyangka kelelahan dan perasaan
terisolasi yang saya pendam ketika menjadi ibu pertama kalinya bisa
berkembang menjadi Post-partum Depression.
5 bulan lalu tepat hari ini anak saya, Aksa, lahir ke dunia. Dalam
sekejap rasa sakit dan lelah pasca persalinan terkikis oleh tangis
pertamanya yang pecah sejurus dokter berkata Bayinya sehat Bu,
jari-jarinya lengkap sempurna. Alhamdulillah! 24 jam kemudian ratusan
ucapan selamat dan doa dari kawan membanjiri sosial media, puluhan kado
dari sanak saudara berjejalan di sudut-sudut kamar pernuh warna. Tapi
dari semua ucapan yang ada tak ada yang mengingatkan saya bahwasanya no
mommies is perfect, just relax and enjoy motherhood.
Setelah kemeriahan itu berangsur-angsur pergi, segera saja hati saya
dipenuhi dengan rasa cemas. Kenapa Aksa kulitnya muncul merah-merah?
Apa saya salah makan? Kenapa Aksa sering bangun menangis keras?
Jangan-jangan asi saya tidak cukup? Is he okay? Is it normal? Pikiran
itu mulai muncul ketika aksa berumur 7 hari dan saya harus sendirian di
rumah. Ya, sendiri, karena saat itu suami saya bekerja di luar kota,
sedangkan walaupun sementara waktu saya tinggal dengan orang tua saya,
ayah ibu saya yang masih aktif bekerja tidak dapat menemani dan membantu
saya mengasuh Aksa sepanjang waktu.
Sebelumnya juga saya tidak membayangkan kalau rutinitas menjadi ibu
bisa begitu melelahkan dan sekaligus monoton, meskipun sebelumnya sudah
berusaha membekali diri dengan banyak membaca. Sebagai seseorang yang
gemar traveling, terbiasa mengunjungi tempat baru, melakukan sesuatu
yang belum pernah, suasana baru, bertemu orang baru dan harus gantung
paspor saya akui gak kagok ketika hari-hari pertama Aksa lahir. Kegiatan
menyusun itinerary, packing, check in dari bandara satu ke bandara
lainnya tergantikan dengan kegiatan di atas taffle mengganti popok satu
dengan yang lainnya membuat saya merenung Is it mom really is the
loneliest number? Tanda tanya yang sempat terlintas itu saja sudah
membuat saya merasa bersalah, merasa berdosa, karena seharusnya bukankah
seorang ibu merasa bahagia bukannya kesepian ketika berdua bersama
bayinya?
Akhirnya setelah bertarung dengan pikiran saya sendiri saya
memilih untuk diam dan menahan diri untuk tidak mengeluh. Seorang ibu
tidak boleh kesepian dan jenuh! Hardik saya pada diri sendiri .
Rasa ngilu bekas episiotomi, puting yang lecet ketika menyusui, badan
lemas kurang tidur juga menambah emosi negatif yang menjadi-jadi, tapi
kembali ego saya berteriaka mom shall not complain, bare it and it will
go away. Ternyata saya salah besar, segala perasaan negatif yang saya
pendam sendiri, adalah bom waktu. Saya jadi tiba-tiba sedih tanpa
alasan, mudah tersinggung, marah ketika ada suara berisik tetangga yang
membangunkan tidur Aksa. Saya pun jadi malas mengurus diri dan
bersosialisasi, orientasi hidup seakan hanya seputar anak, tak ada
aktualisasi. Puncaknya, saya sakit dan muntah-muntah ketika karena tidak
dapat memejamkan mata sedikitpun selama 36 jam. Aksa pun ikut rewel
dan muntah setelah disusui, bahkan menolak ASIP. Saya merasa
berangsur-angsur kehilangan rasa percaya diri dan minat mengasuh anak.
Untungnya saya menyadari ada yang salah dengan diri saya dan segera
mencari tahu. Kenapa kelelahan saya tak berujung, kenapa saya
terus-terusan dirundung ketakutan dan kesedihan. Dan demi anak saya,
saya tak boleh malu meminta bantuan profesional.
Ternyata setelah
konseling dengan pakar, diketahui baby blues yang saya alami telah
berkembang menjadi depresi pasca persalinan. Selain dipicu perubahan
hormon sebenarnya apa yang saya alami adalah normal sebagai ibu baru,
tetapi karena saya mengabaikannya akhirnya gangguan itu menjadi semakin
parah. Ternyata pula komunikasi dengan pasangan dan keluarga itu hal
yang tak boleh diabaikan, apalagi berbagi peran pengasuhan anak.
Bergaul dengan ibu baru, bersosialisasi juga tak kalah pentingnya.
Akhirnya setelah beberapa sesi konseling dan hipnoterapi saya menyadari
bahwa seorang ibu walaupun tidak sempurna pastilah akan melakukan yang
terbaik untuk anaknya. Karena ketidaksempurnaanya, seorang ibu akan
terus belajar sepanjang hidupnya. Perlahan-lahan saya menjadi lebih
santai dan enjoy dalam mengasuh Aksa. Saya dengarkan naluri sebagai ibu
serta afimarsi diri bahwa tanpa beban untuk jadi ibu sempurna : anak
saya akan baik-baik saja.
Saya pun kemudian memutuskan ikut suami pindah. Saya menyadari
pentingnya memenuhi kebutuhan jiwa saya dan Aksa atas kehadiran ayahnya
lebih penting dari cost yang lebih besar yang harus kami keluarkan. Itu
yang terbaik meskipun harus berjuang hanya bertiga di tanah rantau dan
jauh keluarga. Lebih melelahkan memang namun entah kenapa semangat
kembali muncul ketika memandangi suami dan Aksa yang sedang tidur
bersama.
Sekarang, saya tidak pernah melawan ketika rasa jenuh itu
datang. Saya akan berterus terang pada suami dan kemudian dia menawarkan
mengasuh anak selagi saya beristirahat ataupun memanjakan diri ke salon
.
Untuk ibu-ibu baru ingatlah kata-kata saya a key to healthy child is a
happy mother. Jadi jangan lupa diantara tugas-tugas anda sebagai ibu
bahagiakan dan hargai diri anda untuk bisa membesarkan anak yang bahagia
pula.. :)
Persembahan untuk ibu baru.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Mother And Baby Indonesia Tahun 2014 .
Keren mb tulisannya :)
BalasHapus