Halaman

Kamis, 16 Juni 2016

BYE BYE BABYBLUES!

Kalau saya mati, Aksa gimana?

 Pikiran tersebut sempat terlintas di benak saya beberapa waktu lalu. Berlebihan memang, tapi saya pun tak menyangka kelelahan dan perasaan terisolasi yang saya pendam ketika menjadi ibu pertama kalinya bisa berkembang menjadi Post-partum Depression.

 5 bulan lalu tepat hari ini anak saya, Aksa, lahir ke dunia. Dalam sekejap rasa sakit dan lelah pasca persalinan terkikis oleh tangis pertamanya yang pecah sejurus dokter berkata Bayinya sehat Bu, jari-jarinya lengkap sempurna. Alhamdulillah! 24 jam kemudian ratusan ucapan selamat dan doa dari kawan membanjiri sosial media, puluhan kado dari sanak saudara berjejalan di sudut-sudut kamar pernuh warna. Tapi dari semua ucapan yang ada tak ada yang mengingatkan saya bahwasanya no mommies is perfect, just relax and enjoy motherhood. Setelah kemeriahan itu berangsur-angsur pergi, segera saja hati saya dipenuhi dengan rasa cemas. Kenapa Aksa kulitnya muncul merah-merah? Apa saya salah makan? Kenapa Aksa sering bangun menangis keras? Jangan-jangan asi saya tidak cukup? Is he okay? Is it normal? Pikiran itu mulai muncul ketika aksa berumur 7 hari dan saya harus sendirian di rumah. Ya, sendiri, karena saat itu suami saya bekerja di luar kota, sedangkan walaupun sementara waktu saya tinggal dengan orang tua saya, ayah ibu saya yang masih aktif bekerja tidak dapat menemani dan membantu saya mengasuh Aksa sepanjang waktu.

Sebelumnya juga saya tidak membayangkan kalau rutinitas menjadi ibu bisa begitu melelahkan dan sekaligus monoton, meskipun sebelumnya sudah berusaha membekali diri dengan banyak membaca. Sebagai seseorang yang gemar traveling, terbiasa mengunjungi tempat baru, melakukan sesuatu yang belum pernah, suasana baru, bertemu orang baru dan harus gantung paspor saya akui gak kagok ketika hari-hari pertama Aksa lahir. Kegiatan menyusun itinerary, packing, check in dari bandara satu ke bandara lainnya tergantikan dengan kegiatan di atas taffle mengganti popok satu dengan yang lainnya membuat saya merenung Is it mom really is the loneliest number? Tanda tanya yang sempat terlintas itu saja sudah membuat saya merasa bersalah, merasa berdosa, karena seharusnya bukankah seorang ibu merasa bahagia bukannya kesepian ketika berdua bersama bayinya?

 Akhirnya setelah bertarung dengan pikiran saya sendiri saya memilih untuk diam dan menahan diri untuk tidak mengeluh. Seorang ibu tidak boleh kesepian dan jenuh! Hardik saya pada diri sendiri . Rasa ngilu bekas episiotomi, puting yang lecet ketika menyusui, badan lemas kurang tidur juga menambah emosi negatif yang menjadi-jadi, tapi kembali ego saya berteriaka mom shall not complain, bare it and it will go away. Ternyata saya salah besar, segala perasaan negatif yang saya pendam sendiri, adalah bom waktu. Saya jadi tiba-tiba sedih tanpa alasan, mudah tersinggung, marah ketika ada suara berisik tetangga yang membangunkan tidur Aksa. Saya pun jadi malas mengurus diri dan bersosialisasi, orientasi hidup seakan hanya seputar anak, tak ada aktualisasi. Puncaknya, saya sakit dan muntah-muntah ketika karena tidak dapat memejamkan mata sedikitpun selama 36 jam. Aksa pun ikut rewel dan muntah setelah disusui, bahkan menolak ASIP. Saya merasa berangsur-angsur kehilangan rasa percaya diri dan minat mengasuh anak. Untungnya saya menyadari ada yang salah dengan diri saya dan segera mencari tahu. Kenapa kelelahan saya tak berujung, kenapa saya terus-terusan dirundung ketakutan dan kesedihan. Dan demi anak saya, saya tak boleh malu meminta bantuan profesional.

Ternyata setelah konseling dengan pakar, diketahui baby blues yang saya alami telah berkembang menjadi depresi pasca persalinan. Selain dipicu perubahan hormon sebenarnya apa yang saya alami adalah normal sebagai ibu baru, tetapi karena saya mengabaikannya akhirnya gangguan itu menjadi semakin parah. Ternyata pula komunikasi dengan pasangan dan keluarga itu hal yang tak boleh diabaikan, apalagi berbagi peran pengasuhan anak. Bergaul dengan ibu baru, bersosialisasi juga tak kalah pentingnya.

Akhirnya setelah beberapa sesi konseling dan hipnoterapi saya menyadari bahwa seorang ibu walaupun tidak sempurna pastilah akan melakukan yang terbaik untuk anaknya. Karena ketidaksempurnaanya, seorang ibu akan terus belajar sepanjang hidupnya. Perlahan-lahan saya menjadi lebih santai dan enjoy dalam mengasuh Aksa. Saya dengarkan naluri sebagai ibu serta afimarsi diri bahwa tanpa beban untuk jadi ibu sempurna : anak saya akan baik-baik saja. Saya pun kemudian memutuskan ikut suami pindah. Saya menyadari pentingnya memenuhi kebutuhan jiwa saya dan Aksa atas kehadiran ayahnya lebih penting dari cost yang lebih besar yang harus kami keluarkan. Itu yang terbaik meskipun harus berjuang hanya bertiga di tanah rantau dan jauh keluarga. Lebih melelahkan memang namun entah kenapa semangat kembali muncul ketika memandangi suami dan Aksa yang sedang tidur bersama.

Sekarang, saya tidak pernah melawan ketika rasa jenuh itu datang. Saya akan berterus terang pada suami dan kemudian dia menawarkan mengasuh anak selagi saya beristirahat ataupun memanjakan diri ke salon . Untuk ibu-ibu baru ingatlah kata-kata saya a key to healthy child is a happy mother. Jadi jangan lupa diantara tugas-tugas anda sebagai ibu bahagiakan dan hargai diri anda untuk bisa membesarkan anak yang bahagia pula.. :)


Persembahan untuk ibu baru.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Mother And Baby Indonesia Tahun 2014 .

1 komentar: