They say pregnancy is a priceless
gift, not everybody could insist to have one. Yet for me pregnancy is more than just a
present, it’s a huge responsibility.
Kira-kira sebulan yang lalu, jam
segini (ditulis jam 2 siang) saya bersama suami masih di kereta api menuju
Stasiun Tawang, Semarang . Setelah perjalanan
kurang lebih 440 km dan ditempuh dalam waktu 7 jam sampailah kami di Semarang.
Sekitar pukul 4 kami sudah berada di angkutan kota menuju Kaligawe untuk naik
bus tujuan Salatiga, 60 km menuju kampung halaman saya. Selama beberapa hari
kami juga harus menempuh 30 km setiap harinya untuk bolak-balik ke rumah
mertua. 2 kali bolak-balik Solo sejauh 40 km, dan bahkan sempat melancong
hingga kebun teh Kemuning di kaki Gunung Lawu bersama para sahabat saya. Bahkan
setelah itu saya bersama keluarga dengan menggunakan mobil pribadi menuju
Surabaya yang 260km jauhnya.
Tidak ada yang aneh dan berbeda
yang saya rasakan dalam diri saya,yang pertama kali justru Onyi panggilan sayang Leonie, sahabat
saya yang memang paling suka pegang-pegang perut. Lucu katanya. Dek Anis,
sahabat saya yang sudah hamil 5 bulan saat ini, sering jadi korban kegemesan
Onyi. Giliran dia menyentuh perut saya yang biasanya agak empuk jadi agak kaku
dan membesar dia langsung spontan bilang ‘Hamil kali kamu, Nduk!’. Sehari
kemudian adik saya yang paling besar lah
yang justru menegur saya ketika kami temu kangen di Solo. “Mbak, kamu gendutan
ya?” Saya yang tidak menyadari perubahan apapun lantas berkelakar “Wah emang hamil
kali ya”. Memang beberapa hari di rumah nafsu makan saya jadi besar, entah
karena pengaruh dinginnya udara atau karena emang kuliner Salatiga yang
ngangeni, tapi saat itu saya nggak punya feeling saya hamil sama sekali dan
belum berminat melakukan tes kehamilan.
Bahkan hingga saya kembali dari
Surabaya ke Jakarta dengan menenteng bagasi pesawat seberat 15 kg seorang diri namun tidak ada perasaan capek
sedikitpun. Hingga tiga hari setelah itu tante mengajak pergi ke Puncak Bogor,
entah kenapa saya yang biasanya nggak bisa tidur di perjalanan seharian teler
di dalam mobil dan puncaknya di sebuah resort di puncak pass, rasa mual
tiba-tiba muncul dan melihat makanan apapun jadi eneg. Tante yang emang
ceplas-ceplos pun juga langsung mengomentari foto kami yang barusaja diambil ‘Eh
kok toketmu jadi gede banget to nduk!’ yang setelah saya perhatikan saya baru
sadar betapa menggelembungnya badan saya. Duh!
Sesampainya di rumah sayapun
bercerita pada suami semua tanda-tanda yang saya alami, suami bilang yaudah di
tes aja. Baru dua hari kemudian saya benar-benar niat melakukan tes kehamilan.
Saat itu jam 3 pagi tiba-tiba saya kebelet pipis, sesuai anjuran di kotak tes
kehamilan urin pertama di pagi harilah yang paling baik, sayapun tidak mau
membuang kesempatan. Tapi sungguh, dari ujung jari sampai ujung rambut badan
saya bergetar, takut dan deg-degan memegang alat berukuran 10x 0,5 cm itu. Dan,
muncul 2 garis secara jelas, tangis
sayapun pecah di dalam kamar mandi. Perasaan bahagia, takut, sedih bercampur
jadi satu. Bahagia karena Allah mengabulkan do’a kami sejak awal berjanji dalam ikrar pernikahan :
tidak ingin menunda keturunan tapi juga ingin punya kesempatan menikmati
saat-saat berdua dulu. Pasrah pada pemberi hidup, yang paling tahu mana yang
terbaik bagi kami. Dan setelah 6 bulan kami menjalani rumah tangga kami akhirnya
Allah Yang Maha Pemurah memberi calon anggota baru keluarga kami, setelah kami
puas berpetualang berdua. Tapi sayapun juga tak luput dari perasaan cemas dan takut,
seperti manusia biasa lainya. Apakah bayinya sehat, apa saya bisa
membesarkannya dengan baik? Apalagi saat itu sebenarnya saya sudah sangat dekat
dengan impian saya untuk bergabung dengan salah satu book publisher besar di
Indonesia. Tapi Allah berkehendak lain. Air mata dan segala rasapun tumpah di
pelukan suami. Saya bangunkan dia dari tidurnya, karena dialah yang berhak tahu
pertama kali, ayah dari janin yang aku kandung. Diapun yang selalu bilang “La
Tahzan, Jangan bersedih, pasti kesempatan itu datang lagi, karena anak akan
membawa rejekinya sendiri. Kantukpun tetiba sirna, digantikan rasa syukur dan
senyum bahagia yang memenuhi kamar mungil kami saat itu, hingga adzan subuh
menggema.
Seusai menunaikan shalat subuh
berjama’ah bersama suami, saya minta ijin untuk memberi kabar pada ibunda saya,
suami mengiyakan. Seperti biasa, ibu yang bijak dan bersahaja, dengan nada yang
menenangkan mengucap syukur dan mendo’akan. Saya masih nggak menyangka setelah
seribu kilometer lebih jauhnya saya baru sadar selama ini ada makhluk yang
sedang tumbuh di dalam rahim saya :’)
Atas saran beberapa teman,
sebaiknya saya langsung memeriksakan ke dokter spesialis kandungan agar vitamin
janin juga tercukupi sejak awal pembentukannya. Akhirnya setelah beberapa saat
mencari informasi kamipun menjatuhkan pilihan untuk konsultasi dan nantinya
bersalin di Rumah Sakit Ibu Anak Buah Hati. Selain karena sangat dekat dari tempat
tinggal yang sekarang (kira-kira 10 menit perjalanan dengan kendaraan) , banyak
yang menulis di forum dan blog, mereka puas dengan pelayanannya yang ramah dan
juga terjangkau harganya. Namun sayang dokter yang banyak direkomendasikan saat
itu sedang cuti, akhirnya kami pasrah dengan dokter yang ada saat itu. Suami
sebenarnya agak keberatan karena dokternya cowok, karena dia ingin dokter
perempuan aja kalo bisa yang sehebat dan secantik dr. Adison Montgomery di
serial Private Practice. Yeeee! Cowok kalo seganteng obgyn Alex Karev saya juga mau tauk!
Haha tapi ternyata harapan luput
semua, dokternya nggak ganteng dan kurang begitu ramah, ketika saya di USG,
dokter Cuma bilang ‘Tuh kantong bayinya udah kelihatan, 6 minggu ini”
Sayapun Cuma bengong belum bisa menangkap
maksud dokter itu.
‘Jadi saya hamil dok?’ Kataku
memastikan, “Ya hamil’ Kata dokternya antiklimaks. Ini semua tidak seperti bayangan saya bak di
sinetron dan film, dokternya akan sama excitednya dengan orang tuanya ketika mengetahui
benar-benar hamil. Haha. ‘Wah selamat bapak, anda akan segera jadi ayah’ sambil
senyum tiga jari sambil menjabat tangan suami saya, hanya jadi imajinasi di
kepala saya. Malah justru suami kena tegur perawat karena nggak boleh ikut ke
ruangan USG, cukup lihat di monitor aja, katanya. Bukan kaya di film kok yang
suami boleh menemani dan menggengam tangan istinya.
But well, there is always first in everything
right? Trial and Error. Begitulah pertama kalinya saya dan suami masuk ruangan
dokter kandungan, jauh dari ekspektasi dan tegang, hingga pertanyaan yang sudah
disiapkan dari rumah hilang seketika. Jadi saran : take note of the question
you’re gonna ask.Tapi semua itu sama sekali nggak mengurangi kebahagiaan kami berdua sebagai calon orang tua.
Pregnancy bring the best out of us.
Bukan mitos kok kalau ada kalimat
‘ Setiap orang tua akan berusaha memberi yang terbaik untuk anaknya’ – dan bahkan
anak yang belum dilahirkan. Suami jadi lebih bawel emang, biar saya minum susu
dan vitamin, ngemil yang banyak. Tapi saya salut juga dia mau sendirian cari
prenagen, buah, kue, dan jadi manajain saya banget. Nggak lupa beliin buku-buku
kehamilan dan kumpulan do’a. Sayapun juga jadi benci MSG, dan goreng-gorengan,dan
doyan buah sayur kebalikan dari sebelum hamil anehnya. Untungnya juga sebelum
menikah saya sudah rutin berlatih yoga. Makanya saya nggak mengalami mual
muntah parah seperti bumil biasaya di trimester pertama.
Seiring dengan banyaknya orang
yang tahu mengenai kehamilan kita bakal
banyak juga ang memberi nasehat beserta
supersition yang kita dengar. Tapi harus pinter-pinter kita menyeleksi yang
sesuai dengan diri kita dan tetap berfikiran positif. Because every pregnancy is unique, seperti
garis ibu jari manusia yang nggak ada
yang sama, begitu juga kehamilan. Bagus untuk yang lain belum tentu bagus untuk
kita, and we are the one who know our body at best, right? Yang pasti kami berdua, dan siapapun calon orang tua di luar ssana pasti
berniat mengisi hari-hari sampai kelahiran dengan sukacita dan kebahagiaan.
At that, Zechariah called
upon his Lord, saying, "My Lord, grant me from Yourself a good
offspring. Indeed, You are the Hearer of supplication." [3:38]
Dedicated for a being inside my
uterus who is struggling to grow to live, I hope someday when you read it you’ll know how much we love you.
:*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar